A.
Hakikat Perkembangan Anak Usia Dini
Perkembangan
merupakan suatu proses yang bersifat kumulatif, yang artinya perkembangan
terdahulu akan menjadi dasar perkembangan selanjutnya. Oleh sebab itu, jika
terjadi hambatan pada perkembangan terdahulu maka perkembangan selanjutnya
cenderung akan menjadi hambatan.
Anak
usia dini berada dalam masa keemasan dalam sepanjang perkembangan manusia.
Montessori mengatakan bahwa masa ini merupakan periode sensitif dimana anak
secara mudah menerima stimulus-stimulus dari lingkungannya. Pada masa peka
inilah terjadi pematangan fungsi-
fungsi fisik dan psikis sehingga anak siap
merespon dan mewujudkan semua tugas-tugas perkembangan yang diharapkan muncul
pada pola perilakunya sehari-hari.
Berdasarkan
teori perkembangan anak, diyakini bahwa setiap anak lahir dengan lebih dari
satu bakat. Untuk itulah anak perlu diberikan pendidikan yang sesuai dengan
perkembangannya dengan cara memperkaya lingkungan bermainnya. Orang dewasa
perlu memberi peluang pada anak untuk menyatakan diri, berekspresi, berkreasi,
dan menggali sumber-sumber terunggul pada anak. Untuk itu, paradigma baru bagi
ana usia dini atau anak prasekolah adalah harus berorientasi pada anak (student centered) dan prlahan-lahan
menyeimbangkan dominasi pendekatan lama yang berpusat pada guru (teacher centered).
Pada
hakitkatnya anak adalah makhluk individu yang membangun sendiri pengetahuannya.
Anak lahir membawa sejumlah potensi yang siap untuk ditumbuhkembangkan asalkan
lingkungan menyiapkan situasi dan kondisi yang dapat merangsang kemunculan dari
potensi yang tersembunyi tersebut.
Berdasarkan
tinjauan aspek pedagogis, masa usia dini merupakan masa pondasi awal bagi
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Diyakini bahwa masa kanak-kanak yang
bahagia merupakan dasar bagi keberhasilan di masa mendatang dan sebaliknya.
Jadi, agar tumbuh kembangnya tercapai secara optimal dibutuhkan situasi dan
kondisi yang kondusif pada saat memberikan stimulus dan pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan dan minat anak.
Secara
teoritis berdasarkan aspek perkembangannya, seorang anak dapat belajar dengan
sebaik-baiknya apabila kebutuhan fisiknya terpenuhi dan mereka merasa aman dan
nyaman secara psikologis.
B.
Teori Pertumbuhan dan Perkembangan
1.
Teori
Behaviorisme
Watson,
Thorndike, dan Skinner adalah ahli behaviorisme yang terkenal. Skinner identik
dengan teori stimulus-respon dan operant
conditioning. Unsur-unsurnya meliputi bantuan dan hukuman. Kalau dalam classical conditioning, seorang anak
diberikan stimulus dan suatu penghargaan dan mengharapkan penghargaan kapan
saja stimulus diperkenalkan.
Kalau
dalam operant conditioning perilaku
sudah mendahului penguatan tersebut. Seperti percobaan pada tikus dan pedal
dalam skinner box yang sudah kita
pelajari sebelumnya. Jika seorang anak melengkapi suatu tugas dan
memperlihatkan perilaku yang diinginkan, guru dapat menguatkan perilaku
tersebut dengan memberi pujian,dsb. Penguatan negatif dapat diberikan untuk
melepaskan anak dari tindakan atau situasi yang tidak menyenangkan. Contohnya,
dengan memberikan “time out” pada
anak, atau distrap.
Operant conditioning
dapat digunakan untuk membentuk suatu perilaku dengan cara menyediakan bantuan
ketika perilaku anak semakin menjauh dari tujuannya. Membentuk perilaku
melibatkan kompunen berikut:
·
Mengarahkan
perilaku yang diinginkan tersebut.
·
Perbaikan dari
suatu dasar terhadap perilaku.
·
Memilih
penguatan.
·
Menerapkan
sistem penguatan secara sistematis.
Perilaku negatif dapat dikurangi dengan
sikap orang dewasa yang tidak mendukung atau mengacuhkan perilaku anak yang
tidak baik. Tujuan akhir dari teori ini adalah untuk semakin meningkatkan
perilaku yang diinginkan untuk memberikan penghargaan pada anak, sehingga guru
atau orang tua tidak perlu memberikan penghargaan secara terus menerus. Teori
behavioris lebih terkait bagaimana anak berkembang secara sosial, emosional,
dan intelektual.
2.
Teori
Maturationis
Teori
maturationis (kematangan) pertama kali ditemukan oleh Hll, Rousseau dan Gessel
dimana ketiganya percaya bahwa anak harus diberi kesempatan berkembang. Menurut teori ini, pengalaman memainkan
peranan yang sangat penting dalam perkembangan. Hal ini dipandang lebih baik
dari teori behaviorisme.
Teori
maturationis meyakini bahwa perkembangan fisik, sosial, intelektual, emosional,
mengikuti tahapan perkembangan dari setiap anak yang pada dasarnya
berbeda-beda. Mereka percaya bahwa setiap anak akan mengembangkan potensi
mereka apabila mereka ditempatkan pada suatu lingkungan yang optimal dan
perkembangan mereka akan menjadi lambat apabila lingkungan tidak sesuai.
Teori
maturationis menyatakan bahwa anak-anak akan mempunyai kesukaran disekolah
apabila mereka “salah ditempatkan” dimana anak ditempatkan pada kelas yang
memiliki tingkatan yang berbeda dengan tingkatan perkembangan si anak. Teori
ini menekankan tahapan perkembangan si anak lebih penting dari sekedar
penghargaan, hukuman, dll.
3.
Teori
Interaksi
Teori
interaksi atau perkembangan ditemukan oleh Piaget. Piaget percaya bahwa
anak-anak itu membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungan.
Anak-anak bukan merupakan objek penerima pengetahuan yang pasif, melainkan
mereka dengan aktif melakukan pengaturan pengalaman mereka ke dalam struktur
mental yang kompleks.
Selanjutnya
Piaget menguraikan tentang pemikiran anak-anak mengenai konsep asimilasi,
akomodasi, dan keseimbangan. Asimilasi terjadi ketika anak melakukan pencocokan
informasi ke kategori yang ada. Jika anak diberikan pengetahuan tentang anjing,
contoh tersebut akan dimasukkan ke kategori yang sudah ada. Jika kemudian
diberikan pengetahuan tentang kucing, maka anak akan meciptakan suatu kategori
baru dimana bukan hanya anjing hewan berbulu yang dapat digendong dan ditimang.
Menciptakan suatu kategori baru adalah bagian dari akomodasi anak yang mana
anak secepatnya menciptakan suatu struktur mental yang berkaitan dengan semua
hewan yang ada.
Keseimbangan
adalah merupakan bagian akhir dari sisa yang mencapai semua informasi dan
pengalaman, yang kapan saja dapat dicocokan ke dalam suatu bagan yang baru
diciptakan untuk hal tersebut. Keseimbangan ini berumur sangat pendek, sebagai
suatu informasi dan pengalaman yang baru yang secara konstan ditemui oleh anak.
Keseimbangan adalah proses dari pergerakan dari keadaan ketidakseimbangan
kepada keadaan seimbang.
Pendukung
teori Piagetian menggolongkan pengetahuan sebagai berikut yaitu perkembangan
fisik, sosial, atau logika-matematika. Istilah yang digunakan dalam literatur
untuk menguraikan kategori ini adalah meta-knowledge. Jika seorang anak
memahami tentang sistem nomor, jumlah, maka ia juga memahami pengetahuan lain
yang tidak bersifat sosial, fisik, atau logika-matematika.
Wadsworth
menguraikan tentang defenisi belajar dalam terminologi para pengikut Piagetian:
ada dua penggunaan. Penggunaan pertama, disebut sebagi makna di dalam
pengertian yang luas, dimana bersinonim dengan kata perkembangan. Penggunaan
kedua, adalah mengenai hal-hal yang lebih dangkal. Hal ini mengacu pada
pengadaan informasi yang spesifik dari lingkungan, yang berasimilasi dalam
suatu bagan yang ada. Bagi teori behavioristik, mengatakan memori dihafal tanpa
berpikir. Sedangkan pada teori Poaget, belajar melibatkan konstruksi dan
pengertian.
4.
Teori
Psikoanalisis
Sigmund
Freud, bapak dari teori psikoanalitical,
yang menggambarkan perkembangan dan pertumbuhan anak. Di dalam terminologi
dikatakan bahwa anak-anak bergerak melalui langkah-langkah yang berbeda dengan
tujuan untuk mencari kepuasan yang berasal dari sumber yang berbeda, di mana
mereka juga harus berusaha untuk menyeimbangkan keadaan tersebut dengan harapan
orang tua. Mekanisme pertahanan diri diciptakan untuk tujuan agar dapat
berhubungan dengan ketertarikan. Kebanyakan orang belajar untuk mengendalikan
perasan mereka dan juga berusaha agar dapat diterima di dalam lingkungan sosial
serta untuk mengintegrasi diri mereka.
5.
Teori
Pengaruh
Berbagai
teori yang berbeda mengemukakan sudut pandang mereka yang berbeda dalam hal
menginterpretasikan pengamatan yang sudah mereka lakukan terhadap anak-anak
ketika mereka tumbuh dan berkembang. Seorang anak akan berkembang secara
menyeluruh. Perkembangan di suatu area pasti memengaruhi perkembangan di area
lain. Sebagai contoh, ketika anak menjadi gesit ia membuka lebih banyak lagi
hal-hal lain dari berbagai kemungkinan untuk melakukan eksplorasi dan belajar
tentang lingkungan. Anak-anak yang merasakan bahwa mereka sedang belajar dengan
sukses atau anak-anak yang merasa yakin tentang kemampuan fisik mereka memiliki
kepercayaan diri yang baik. Anak-anak yang belajar untuk mampu mengendalikan
perilaku mereka yang impulsif dapat berinteraksi dengan orang lain atau
alat-alat permainan dalam waktu yang lebih lama, dimana hal ini juga
berpengaruh terhadap perkembangan intelektual mereka. Perkembangan sosial,
fisk, dan intelektual selalu berkaitan.
6.
Teori
Konstruktivisme
Semiawan
berpendapat bahwa pendekatan konstruktivisme bertolak dari suatu keyakinan
bahwa belajar adalah membangun pengetahuan itu sendiri, setelah dicernakan
kemudian dipahami dalam diri individu, dan merupakan perbuatan dari dalam diri
seseorang. Pengetahuan itu diciptakan kembali dari dalam diri seseorang melalui
pengalaman, pengamatan, dan pemahamannya.
Vygotsky
dikenal sebagai socialkultural
constructivist berpendapat bahwa pengetahuan tidak diperoleh dengan cara
dialihkan dari orang lain, melainkan merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan
oleh anak. Vygotsky yakin bahwa belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat
dipaksa dari luar karena anak adalah pembelajaran aktif dan memiliki struktur
psikologis yang mengendalikan perilaku belajarnya. Prinsip dari teori Vygotsky
adalah bahwa anak melakukan proses konstruksi membangun berbagai pengetahuannya
tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dimana anak tersebut berada.
Berhubungan
dengan proses pembentukan pengetahuan, Vygotsky mengemukakan konsep Zone of Proximal Development (ZPD) sebagai
kapasitas potensial belajar anak yang dapat erwujud melalui bantuan orang
dewasa atau orang yang lebih terampil. Vygotsky mendefenisikan ZPD sebagai
jarak antarab level perkembangan aktual dengan pemecahan masalah secara mandiri
dengan level perkembangan potensial oleh pemecahan masalah dengan bimbingan
orang dewasa.
Stuyf
mengatakan bahwa strategi pembelajaran pentahapan memberikan bantuan secara
perseorangan berdasarkan ZPD. Aktifitas-aktifitas yang diberikan dalam
pembelajaran scaffolding hanya melewati
tingkatan yang dapat dilalui sendiri. Askep penting dalam pembelajaran scaffolding adalah bantuan bersifat
sementara. Akhirnya anak dapat menyelesaikan tugas dengan sendirinya tanpa
bantuan lagi.
Penerapan
teori konstruktivisme dalam program kegiatan bermain pada anak usia dini
haruslah memperlihatkan hal-hal berikut: anak hendknya memperoleh kesempatan
luas dalam kegiatan pembelajaran, pembelajaran pada anak usia diini hendaknya
dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensial daripada perkembangan aktualnya,
program kegiatan bermain lebih diarahkan pada penggunaan strategi, anak diberi
kesempatan luas untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah, dan proses
belajar tidak sekedar transfersal tetapi lebih kepada ko-konstruksi.
C.
Aspek Perkembangan Anak Usia Dini
Catron
Allen (1999 :23-26) menyebutkan bahwa terdapat 6 aspek perkembangan anak usia
dini yaitu kesadaran personal , kesehatan emosional, sosialisasi, komunikasi,
kognisi, dan keterampilan motorik sangat penting dan harus dipertimbangkan
sebagai fungsi interaksi. Kreatifitas tidak dipandang sebagai perkembangan
tambahan, melainkan sebagai komponen yg integral dari lingkungan bermain yang
kreatif.
Pertumbuhan
anak pada enam aspek perkembangan dibawah ini membentuk fokus sentral dari
pengembangan kurikulum bermain kreatif pada anak usia dini.
Kesadaran Personal
Permainan
kreatif memungkinkan perkembangan kesadaran personal.bermain membantu anak
untuk tumbuh secara mandiri dan memiliki kontrol atas lingkungannya. Melalui
bermain anak dapat menemukan hal baru, bereksplorasi, meniru, dan mempraktikkan
kehidupan sehari-hari sebagai sebuah langkah dalam membangun keterampilan
menolong diri sendiri, keterampilan ini membuat anak menjadi berkompeten.
Pengembangan Emosi
Melalui
bermain anak dapat belajar menerima, berekspresi dan mengatasi masalah dengan
cara yang positif. Bermain juga memberikan kesempatan pada anak untuk mengenal
diri mereka sendiri dan untuk mengembangkan pola perilaku yang memuaskan dalam
hidup.
Membangun Sosialisasi
Bermain
memberikan jalan bagi perkembangan sosial anak ketika berbagi dengan anak lain.
Bermain adalah sarana paling utama bagi pengembangan kemampuan bersosialisasi
dan memperluas empati terhadap orang lain serta mengurangi sikap egosentrisme.
Bermain dapat menumbuhkan dan meningkatkan rasa sosialisasi anak. Melalui
bermain anak dapat belajar perilaku prososial seperti menunggu giliran, kerja
sama, saling membantu, dan berbagi.
Pengembangan komunikasi
Bermain
merupakan alat yang paling kuat untuk membelajarkan kemampuan berbahasa anak.
Melalui komunikasi inilah anak dapat memperluas kosakata dan menembangkan daya
penerimaan serta pengekspresian kemampuan berbahasa mereka melalui interaksi
dengan anak-anak lain dan orang dewasa pada situasi bermain spontan.
Secara spesifik,
bermain dapat memajukan perkembangan dari segi komunikasi berikut ini : (1)
bahasa reseptif (penerimaan), yaitu mengikuti petunjuk-petunjuk dan memahami
konsep dasar, (2) bahasa ekspresif, yaitu kebutuhan mengekspresikan keinginan,
perasaan: penggunaan kata-kata, frase-frase, kalimat: berbicara secara jelas
dan terang, (3) komunikasi
nonverbal, yaitu penggunaan komunikasi kongruen, ekspresi muka, isyarat
tubuh,isyarat tangan dan (4) memori pendengaran/perbedaan, yaitu memahami
bahasa berbicara dan membedakan bunyi.
Pengembangan Kognitif
Bermain
dapat memenuhi kebutuhan anak untuk secara aktif terlibat dengan lingkungan,
untuk bermain dan bekerja dalam menghasilkan suatu karya, serta untuk memenuhi
tugas-tugas perkembangan kognitif lainnya. Selama bermain, anak menerima
pengalaman baru, memanipulasi bahan dan alat, berinteraksi dengan orang lain
dan mulai memasukkandunia mereka. Bermain adalah awalan dari semua fungsi
kognitif selanjutnya, oleh karenanya bermain sangat diperlukan dalam kehidupan
anak-anak.
Pengembangan Kemampuan Motorik
Kesempatan
yang luas untuk bergerak, pengalaman belajar untuk menemukan, aktivitas sensori
motor yang meliputi penggunaan otot-otot besar dan kecil memungkinkan anak
untuk memenuhi perkembangan perseptual motorik. Bermain dapat memacu
perkembangan perseptual motorik pada beberapa area yaitu : (1) koordinasi
mata-tangan atau mata-kaki, seperti saat menggambar, menulis, manipulasi objek,
mencari jejak secara visual, melempar, menangkap, menendang. (2) kemampuan motorik
kasar, seperti gerak tubuh ketika berjalan, melompat, berbaris, berlari,
berguling-guling, dan merayap. (3) kemampuan bukan motorik kasar (statis)
seperti menekuk, meraih, bergiliran, memutar, meregangkan tubuh, jongkok,
duduk, berdiri, bergoyang. (4) manajemen tubuh dan kontrol seperti menunjukkan
kepekaan tubuh, kepekaan akan tempat, keseimbangan, kemampuan untuk memulai,
berhenti dan mengubah petunjuk.
D.
Pola Perkembangan Anak
Bagian ini menjelaskan mengenai
ikhtisar dari pola perkembangan fisik, sosial, emosional, dan intelektual dari
setiap anak.
1. Perkembangan
Fisik
Perkembangan fisik berlangsung secara teratur, tidak
secara acak, perkembangan bayi ditandai dengan adanya perubahan dari aktivitas
yang tidak terkendali menjadi suatu aktivitas yang terkendali.
Perkembangan fisik pada masa bayi berjalan dengan cepat. Bayi belajar untuk mengendalikan kepala, menggapai sebuah objek, dan barangkali berdiri dan berjalan ditahun pertama tersebut. Ketika anak-anak tumbuh, perkembangan dari keterampilan motor mereka tidaklah sama cepatnya dengan seperti pada kanak-kanak, tetapi hal tersebut berlangsung terus sepanjang masa kanak-kanak. Pengamatan atas fisik mengungkapkan bahwa pertumbuhan itu adalah bersifat cephalocaudal (proses pertumbuhan dimulai dari kepala hingga ke kaki) dan juga proximo-distal (proses pertumbuhan dimulai berasal pusat badan ke arah luar), dan perkembangan motorik kasar tersebut mulai berjalan dahulu sebelum motorik halus berkembang. Kendali terhadap kepala dan otot tangan diperoleh sebelum adanya kendali otot kaki. Dengan cara yang sama, anak-anak dapat mengendalikan otot dari tangannya sebelum mereka dapat mengendalikan otot motorik halus pada tangan mereka yang diperlukan untuk melakukan tugas seperti menulisndan memotong dengan gunting.
Pada saat mereka berusia tiga tahun, kebanyakan anak-anak sudah dapat berjalan mundur, berjalan pada ujung jari kaki dan dapat berlari. Mereka juga dapat melemparkan suatu bola dan menangkapnya dengan tangan mereka sendiri. Mereka juga dapat mengendarai sepeda roda tiga dan memegang krayon atau pensil dengan jari mereka atau dengan genggaman tangan mereka.
Implikasi dalam Pengembangan Kurikulum
Perkembangan fisik merupakan hal penting dalam rentang kehidupan anak. Anak memerlukan waktu yang cukup untuk aktivitas secara fisik. Anak-anak sejak lahir sampai berusia tiga tahun manakala dorongan dari orang tua dan guru dengan memberikan kesempatan agar anak dapat melakukan kegiatan fisik dengan aman dan tidak mengharapkan ketrampilan motorik yang akan dicapai oleh anak.
Beberapa hal di bawah ini dapat membantu guru dalam mengembangkan keadaan fisik dari anak-anak lewat kegiatan-kegiatan.
Perkembangan fisik pada masa bayi berjalan dengan cepat. Bayi belajar untuk mengendalikan kepala, menggapai sebuah objek, dan barangkali berdiri dan berjalan ditahun pertama tersebut. Ketika anak-anak tumbuh, perkembangan dari keterampilan motor mereka tidaklah sama cepatnya dengan seperti pada kanak-kanak, tetapi hal tersebut berlangsung terus sepanjang masa kanak-kanak. Pengamatan atas fisik mengungkapkan bahwa pertumbuhan itu adalah bersifat cephalocaudal (proses pertumbuhan dimulai dari kepala hingga ke kaki) dan juga proximo-distal (proses pertumbuhan dimulai berasal pusat badan ke arah luar), dan perkembangan motorik kasar tersebut mulai berjalan dahulu sebelum motorik halus berkembang. Kendali terhadap kepala dan otot tangan diperoleh sebelum adanya kendali otot kaki. Dengan cara yang sama, anak-anak dapat mengendalikan otot dari tangannya sebelum mereka dapat mengendalikan otot motorik halus pada tangan mereka yang diperlukan untuk melakukan tugas seperti menulisndan memotong dengan gunting.
Pada saat mereka berusia tiga tahun, kebanyakan anak-anak sudah dapat berjalan mundur, berjalan pada ujung jari kaki dan dapat berlari. Mereka juga dapat melemparkan suatu bola dan menangkapnya dengan tangan mereka sendiri. Mereka juga dapat mengendarai sepeda roda tiga dan memegang krayon atau pensil dengan jari mereka atau dengan genggaman tangan mereka.
Implikasi dalam Pengembangan Kurikulum
Perkembangan fisik merupakan hal penting dalam rentang kehidupan anak. Anak memerlukan waktu yang cukup untuk aktivitas secara fisik. Anak-anak sejak lahir sampai berusia tiga tahun manakala dorongan dari orang tua dan guru dengan memberikan kesempatan agar anak dapat melakukan kegiatan fisik dengan aman dan tidak mengharapkan ketrampilan motorik yang akan dicapai oleh anak.
Beberapa hal di bawah ini dapat membantu guru dalam mengembangkan keadaan fisik dari anak-anak lewat kegiatan-kegiatan.
· Menyediakan
permainan di luar ruangan. Permainan yang ada sebaiknya merupakan permainan
yang dapat mengembangkan keterampilan memanjat, berlari, melompat, dan
seterusnya.
·
Meyakinkan
anak-anak bahwa mereka memiliki suatu kesempatan untuk berada di dalam suatu
area permainan yang berisi matras, bola karet dan target, dan bahan-bahan lain
yang dapat mendukung perkembangan anak.
·
Bagi setiap anak,
peralatan yang ada di dalam rumah diperuntukkan bagi perkembangan fisik anak,
meliputi perahu goyang, anak tangga bersusun, terowongan dan seluncuran yang
rendah.
·
Menyediakan bola
yang sesuai dengan usia anak. Bagi setiap anak bola harus berukuran besar dan
dibuat dari bahan yang lembut seperti busa dan benang. Ketika anak belajar
untuk menangkap dan melemparkan bola dengan mudah, mereka dapat menggunakan
bola yang terbuat dari karet yang lunak.
·
Banyak aktivitas
kelas yang dapat membantu anak-anak dalam mengendalikan motorik halus mereka
seperti melukis, memotong dengan gunting, bermain plastisin, meronce
manik-manik, dan seterusnya.
2. Perkembangan sosial
a. Perkembangan
kepribadian
Salah satu unsur perkembangan sosial
adalah perkembangan kepribadian. Eric Erikson, memandang perkembangan identitas
anak sebagai cerminan dari hubungan anak dengan orangtua dan keluarganya.
Orangtua dan lingkungan yang dapat memberikan kepercayaan dan penghargaan atas
prestasi anak akan membentuk karakter anak yang percaya diri. Buzzelli dan
Memfile menyatakan bahwa membangun sebuah persahabatan juga penting untuk
membangun sebuah kepercayaan.
o
Perkembangan
konsep diri
Konsep diri dikembangkan secara
bertahap, dimulai dengan interaksi anak dengan orangtua, keluarga, dan lingkungan.
Kemudian anak secara berangsung-angsur mulai mengembangkan konsep mengenai
siapa dan seperti apa dirinya.
Dalam sebuah studi klasik, mengenai
konsep diri anak-anak, Coopersmith menemukan bahwa anak, terutama anak
laki-laki yang memiliki konsep diri yang baik, memiliki orangtua yang menerima,
menyayangi, memperhatikan anak-anaknya dan memberikan aturan-aturan yang
mengarahkan anak untuk memiliki perilaku baik dan kedisiplinan.
Tugas guru adalah merencanakan suatu
kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan konsep diri anak dengan mengajak
anak untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas yang bervariasi.
b. Peran
dari permainan
Pengalaman bermain sangat penting
didalam perkembangan sosial dan emosional anak. Anak- anak dapat memainkan
berbagai peran, seperti berperan sebagai seorang kakak, ayah, atau sebagi
seorang dokter. Disini anak akan belajar bagaimana pola perilaku tokoh yang
mereka perankan.
c. Hubungan
sosial dan keterampilan sosial
Tahapan-tahapan
perkembangan psikologis menurut erikson :
·
Trust vs Mistrust (pada
usia 0-1 atau 1 ½ tahun)
Bayi
mengembangkan perasaan bahwa dunia merupakan tempat yang baik dan aman. Disini,
orangtua harus dapat membantu anak menumbuhkan dan mengembangkan serta
menyeimbangkan kepercayaan dengana rasa curiga. Nilai lebih yang akan
berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat
kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi
mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.
·
Autonomy vs
Shame and Doubt (pada usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun)
Pada
masa ini, anak mengembangkan kemandirian (otonomi) sekaligus mengurangi
perasaan malu dan ragu-ragu. Orang tua yang terlalu membatasi ruang
gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, akan membentuk karakter anak yang
mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya
bertindak sendirian.
·
Initiatif vs
Guilt (pada usia 3 sampai 5 atau 6 tahun)
Anak
mengembangkan inisiatif ketika mencoba aktivitas baru dan tidak terlalu
terbebani dengan rasa bersalah. Salah satu contoh hal yang dapat dilakukan
orangtua atau guru untuk membantu anak pada tahap ini adalah dengan mengarahkan
anak untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Hal ini dapat membantu
mengembangkan inisiatif anak untuk mengambil keputusan.
·
Industry vs
Inferiority (pada usia 6 sampai 12 tahun)
Anak
harus belajar untuk mengembangkan rasa percaya dirinya dan dapat menghadapi
perasaan tidak kompeten. Dalam budaya kita, dimana prestasi sering diukur
sebagai keberhasilan melakukan sesuatu dengan hasil yang lebih baik dari orang
lain, maka anak juga belajar untuk bersaing dan mengukur produktivitas dirinya
dengan orang lain.
Di
satu sisi anak belajar untuk lebih menghargai prestasi kerja dari hal lain,
yang membuat anak mengasingkan diri dari teman-teman sebayanya karena adanya
kompetisi diantara mereka. Di sisi lain, anak dapat merasakan ketidakmampuannya
dalam melaksanakan suatu tugas yang dapat mengembangkan perasaan rendah diri
dan menyebabkan anak malas berusaha.
d. Agresi
Aspek yang lain tentang pembangunan
sosial yang patut mendapat perhatian adalah agresi. Para guru dan orangtua
mempunyai kaitan dengan perilaku agresif anak. Sebuah studi mengungkapkan bahwa
perilaku yang agresif dikelas dapat dikurangi dengan menyediakan sarana dan
fasilitas yang cukup sehingga anak-anak tidak mempunyai alasan untuk bersaing
antara anak yang satu dengan anak yang lain. Studi ini juga menyarankan agar
anak tidak diberikan mainan yang dapat mengarahkan diri anak kearah agresif.
e. Identifikasi
peran seks
Identifikasi peran seks adalah hal
penting lain dalam pembangunan sosial anak. Anak harus dapat mengidentifikasi
diri mereka sendiri dan diri orang lain sebagai anak laki-laki atau anak
perempuan. Selanjutnya mereka mulai belajar mengembangkan konsep identitas
seksual dan sikap mereka tentang peran yang sesuai bagi pria dan wanita.
Implikasi dalam pengembangan
kurikulum
Aktivitas
yang dilakukan seharusnya berupa kegiatan yang dapat mendorong anak-anak untuk
dapat saling bekerja sama, mengembangkan konsep diri mereka, dan untuk
memperoleh ketermpilan dalam interaksi dengan anak-anak yang lain.
Beberapa
saran yang dapat dilakukan seorang guru untuk membantu perkembangan sosial
anak, seperti:
·
Menggunakan
boneka sebagai model yang memerankan suatu peran atau suatu tindakan yang nantinya
dapat dicontoh anak
·
Mendorong anak
untuk membuat keputusan sebanyak mungkin dengan mengizinkan anak untuk memilih
dan melakukan sesuatu
·
Mendorong anak
untuk melakukan suatu perilaku
·
Mintalah anak
untuk memainkan suatu peran yang merupakan solusi untuk memecahkan masalah
dalam interaksi sosial
Perkembangan
emosional
Perkembangan
emosional, sama halnya dengan perkembangan fisik dan sosial yang berkembang
secara bertahap. Dimulai sejak bayi, dimana bayi bereaksi terhadap emosi apapun
dengan mengeluarkan suara tangisan yang tidak dapat dibedakan. Dalam beberapa
bulan kemudian, bayi mulai mengekspresikan emosi mereka dengan menjerit dimana
hal ini disebabkan oleh adanya kesakitan fisik.
Anak
memiliki perilaku yang sangat memaksa. Mereka hanya mempunyai sedikit kendali
dari dorongan hati mereka dan mudah merasa putus asa. Pada saat anak mencapai
usia tiga dan empat tahun, mereka sudah menumbuhkan beberapa sikap toleransi
untuk mengatasi hal tersebut. Mereka sudah dapat menunggu untuk beberapa waktu
dan sudah dapat mengendalikan diri. Anak pada usia ini juga mulai mengembangkan
selera humor. Mereka juga sering tertawa ketika mendengar suara dan kata-kata
yang lucu.
Bagi
anak yang berada dibangku taman kanak-kanak dan anak sd kelas satu, biasanya
sudah dapat menyatakan dan melabelkan suatu emosi yang luas. Mereka menjadi
lebih mampu dalam mengendalikan perasaan agresif mereka. anak-anak yang berusia
lima dan enam tahun ini juga sudah mulai mengembangkan suara hati dan suatu
perasaan tentang benar atau salah. Untuk humor, mereka mengekspresikannya lewat
lelucon atau kata-kata yang tidak masuk akal.
Sedangkan
pada anak-anak yang berusia tujuh dan delapan tahun, mereka mulai menunjukkan
ketekunan mereka didalam usaha yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan mereka.
pada usia ini anak-anak mengembangkan sikap empati yang lebih kepada oranglain,
dan sudah mulai merasa bersalah ketika melukai oranglain, baik secara fisik
maupun emosional.
Implikasi untuk kurikulum
Beberapa
hal berikut ini merupakan salah satu contoh dari aktivitas kelas yang dapat
membantu anak :
·
Mintalah anak
untuk menggambarkan suatu situasi dimana rasa frustasi dan kemarahan seharusnya
ditangani dengan sewajarnya.
·
Menggunakan
boneka sebagai model yang tepat dalam memberikan respon terhadap emosi.
·
Memberikan rasa
empati bagi anak-anak yang merasa ketakutan dan juga yang membutuhkan perhatian
Perkembangan intelektual
Perkembangan
kognitif mengacu pada perkembangan anak dalam berpikir dan kemampuan untuk
memberikan alasan. Menurut Piaget, perkembangan kognitif anak terbagi dalam
empat tahapan, yaitu:
·
Tahap
sensorimotor (dari lahir sampai usia dua tahun)
Bayi
mulai dapat melakukan aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan melalui
aktivitas sensoris dan motorik. Tugas dari periode ini adalah untuk
mengembangkan suatu konsep dari objek yang tetap, yakni berupa pemikiran dimana
objek ada bahkan ketika mereka tidak dapat dilihat atau didengar.
·
Tahap
praoperasional (dari usia dua sampai tujuh tahun)
Anak
mulai menggunakan simbol untuk merepresentasikan orang, tempat, dan peristiwa.
Bahasa dan imajinasi memainkan peranan penting pada tahap ini. Pemikiran masih
belum logis.
·
Tahap
operasional konkret( dari usia tujuh sampai sebelas tahun)
Pada
tahap ini, anak sudah dapat memecahkan masalah secara logis tapi belum dapat
berpikir secara abstrak.
Implikasi dalam pengembangan
kurikulum
Anak-anak
yang berada pada tahapan sensorimotor memerlukan pengalaman yang berkaitan
dengan sentuhan dan gerak. Para guru dapat memberikan anak sebuah mainan baru
yang nantinya anak akan mulai memahami karakteristik dari mainan tersebut
melalui indra-indra yang berhubungan dengan perasaan. Untuk anak yang berada
pada tahap praoperasional biasanya memiliki pemahaman yang cepat terhadap
bahasa. Para guru dapat mendorong perkembangan bahasa anak dengan memberikan
berbagi kosakata baru yang memiliki makna.
Basis
Pendidikan Anak Usia Dini
Terdapat
3 basis pendidikan anak usia dini, yaitu :
1. Berbasis pada
keholistikan dan keterpaduan
Pengembangan anak usia
dini mempunyai arah pada pengembangan segenap aspek pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani anak. Pelaksanaannya terintegrasi dalam suatu
kesatuan program yang utuh dan proporsional. Dalam hal ini, diharapkan adanya
keselarasan antara pendidikan yang dilakukan di berbagai unit pendidikan, yaitu
antara keluarga dengan sekolah dan masyarakat.
2. Berbasis pada
multi disiplin ilmu dan budaya
Prinsip ini mengandung
arti bahwa praktik pendidikan anak usia dini yang tepat perlu dikembangkan
berdasarkan temuan mutakhir dalam bidang keilmuwan yang relevan. Pendidikan
anak usia dini sendiri muncul karena dalam perkembangannya bersinggungan dengan
ilmu lain yang menjadi objek penelaahan yaitu pendidikan untuk anak usia 0-8
tahun sehingga muncul ilmu baru yang
bernama pendidikan anak usia dini.
3. Berbasis pada
taraf perkembangan anak
Pendidikan anak usia
dini dilaksanakan sesuai dengan karakteristik dan tingkat perkembangan anak
sehingga proses pendidikan bersifattidak terstruktur, informal, dan responsive
terhadap perbedaan individual anak serta melalui aktivitas belajar sambil
bermain.
Kajian dalam bidang medis-neurologis,
psikososiokultural dan pendidikan menyajikan pandangan yang komprehensif,
secara singkat pandangan tersebut adalah:
a.
Anak usia dini
lahir sampai usia enam tahun adalah sosok individu dan makhluk sosiokultural
yang sedang mengalami proses perkembangan yang sangat fundamental dengan
sejumlah potensi dan karakteristik tertentu.
b.
Sebagai
individu, anak usia dini adalah organisme dalam kesatuan jasmani dan rohani
yang utuh dengan segala struktur dan perangkat biologis dan psikologisnya
sehingga menjadi sosok yang unik.
c. Sebagai
makhluk sosiokultural, mereka perlu tumbuh dan berkembang dalam setting sosial tempat mereka hidup,
serta diasuh dan dididik sesuai nilai sosiokultural dan harapan masyarakat.
Oleh karena itu fungsi pendidikan anak usia dini
sendiri adalah, sebagai berikut :
a. Mengembangkan
segenap potensi anak
b. Penanaman
nilai dan norma kehidupan
c. Pembentukan
dan pembiasaan perilaku yang diharapkan
d. Pengembangan
pengetahuan dan keterampilan dasar
e. Pengembangan
motivasi dan sikap belajar yang positif
Diharapkan
dengan fungsi tersebut dapat meminimalisir rendahnya sumber daya manusia, yang
berakar dari lemahnya penanganan masalah pendidikan terhadap generasi muda.
Keberadaan PAUD menjadi solusi yang
tepat dalam mengatasi masalah tersebut.
F. Pendekatan
dalam Pendidikan Anak Usia Dini
1.
Berorientasi
pada Kebutuhan Anak
Perkembanga
zaman menuntut saat ini menuntut pembelajaran yang memberikan skill (kemampuan) anak dari segi IPTEK
dan menguasai lebih dari satu bahasa. Model ini menekankan pada kebutuhan anak
untuk mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan dan gizi yang dikembangkan
secara integratif dan holistik. Sebagai contoh, anak dengan kemampuan diatas
rata-rata dapat diberikan pengayaan, sedangkan anak dengan kemampuan dibawah
rata-rata diberikan bimbingan sesuai dengan kemampuan yang akan dicapai.
2.
Berorientasi
pada Perkembangan Anak
Jamaris
(2006:19), perkembangan merupakan suatu proses yang bersifat kumulatif, artinya
perkembangan terdahulu akan menjadi dasar perkembangan selanjutnya. Oleh karena
itu, jika terdapat hambatan pada perkembangan sebelumnya, maka perkembangan
selanjutnya cenderung mengalami hambatan.
Masa
usia dini menurut Montessori dalam Hainstock merupakan periode sensitif (sensitive period), selama masa ini anak
secara khusus mudah menerima stimulus dari lingkungan. Pada masa ini lah,
terjadi pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis sehingga anak siap merespon
dan mewujudkan tugas-tugas perkembangan yang diharapkan muncul pada pola
perilaku sehari-hari. Oleh karena itu anak perlu diberikan pendidikan sesuai
dengan perkembangannya dengan cara memperkaya lingkungan bermainnya.
Pada
dasarnya terdapat dua pendekatan utama dalam PAUD yaitu: pendekatan perilaku
dan pendekatan perkembangan. Hainstock (1999:7) mengatakan bahwa pendekatan
perilaku beranggapan bahwa konsep pengetahuan, sikap ataupun keterampilan
tidaklah berasal dari dalam diri anak dan tidak berkembang secara spontan, dengan
kata lain harus ditanamkan pada anak.
Kemudian
pendekatan perkembangan mengatakan bahwa perkembanganlah yang memberikan
kerangka untuk memahami dan menghargai pertumbuhan alami anak usia dini.
Wolfgang dan Wolfgang (1992:6) menyatakan beberapa anggapan dalam pendekatan
ini, yaitu:
1.
Anak usia dini
adalah pembelajar aktif yang secara terus menerus mendapat informasi mengenai
dunia lewat permainannya.
2.
Setiap anak
mengalami kemajuan melelui tahapan-tahapan perkembangan yang dapat diperkirakan
3.
Anak bergantung
pada orang lain dalam hal pertumbuhan emosi dan kognitif melalui interaksi
sosial
4.
Anak adalah
individu yang unik, yang tumbuh dan berkembang dengan kecepatan yang berbeda.
Berdasarkan hal tersebut diatas Wolfgang
dan Wolfgang (1992:14) mengatakan bahwa maka pendidik anak usia dini berkaitan
dengan teori perkembangan antara lain:
1.
Tanggap dalam
proses yang terjadi dari dalam diri anak dan berusaha mengikuti arus
perkembangan anak yang individual
2.
Mengkreasikan
lingkungan dengan materi luas yang beragam dan alat-alat yang memungkinkan anak
belajar
3.
Memperhatikan
laju dan kecepatan belajar dari masing-masing anak
4.
Adanya bimbingan
dari guru agar anak tertantang untuk melakukan sendiri
Anak usia dini memiliki cirri-ciri seperti berikut:
·
Anak belajar
dengan sebaik-baiknya apabila kebutuhan fisiknya terpenuhi serta merasakan aman
dan tentram secara psikologis. Contoh: membiasakan anak sarapan sebelum memulai
aktivitas, agar anak bebas bermain tanpa ada tuntutan dari dalam dirinya.
·
Siklus belajar
anak berulang, dimulai dari membangun kesadaran, melakukan penjelajahan
(eksplorasi), memperoleh penemuan untuk selanjutnya anak dapat menggunakannya.
Contoh: ada saat dimana anak-anak sangat senang belajar, tetapi ada pula
saatnya anak malas dan mencari-cari perhatian orang dewasa.
·
Anak belajar
melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan teman sebayanya.
·
Minat anak dan
keingintahuannya memotivasi belajarnya.
·
Perkembangan dan
belajar anak harus memperhatikan perbedaan individual. Contoh: belajar konsep
angka 1-5 sesuai dengan usia 3 tahun dengan menghitung bola, namun buat
anak-anak yang sudah lebih baik, dapat ditambahkan dengan angka 6-10.
·
Anak belajar
dari cara yang sederhana hingga ke yang rumit, dari konkret ke abstrak, dari
gerakan ke verbal, dan dari keakuan ke rasa sosial.
3.
Anak
Usia Dini Belajar melalui Bermain
Mengutip
pernyataan Mayesty (1990:196-197) bagi seorang anak, bermain adalah kegiatan
yang mereka lakukan sepanjang hari karena bagi anak bermain adalah hidup dan
hidup adalah permainan. Anak-anak tidak membedakan antara bermain, belajar dan
bekerja.
Menurut
Parten dalam Mayesty (1990:61-62) memandang kegiatan bermain sebagai sarana
sosialisasi, diharapkan melalui bermain dapat memberikan kesepakatan anak
bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, dan belajar
secara menyenangkan.
Bermain
adalah dunia anak, melalui kegiatan bermain anak mengembangkan berbagai aspek
kecerdasan secara jamak. Bermian edukatif dapat membantu mengoptimalkannya.
Dengan bermain anak dapat mengenal siapa dirinya dan ligkungannya, dan tak
kalah penting anak dikenalkan kepada Tuhannya melalui makhluk ciptaannya.
4.
PAKEM
(Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan)
Pembelajaran
yang aktif, dimaksudkan guru harus
mampu membuat suasana sedemikian rupa agar anak dapat aktif berinteraksi,
bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan.
Pembelajaran
kreatif, memiliki daya cipta,
memiliki kemampuan untuk berkreasi (Silberman, 1996:9). Peran aktif anak akan
menghasilkan pola pikir yang kreatif, artinya mereka mampu menghasilkan sesuatu
untuk kepentingan dirinya dan orang lain kreatif disini juga ditujukan kepada
bentuk pembelajaran yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan
anak.
Efektif, pembelajaran
yang efektif adalah pembejalaran yang dapat menimbulkan daya kreatif dari
anak-anak, sehingga akan dapat membekali anak dengan berbagai kemampuan.
Pembelajaran efektif dapat dicapai dengan tindakan nyata (learning by doing).
Menyenangkan, suasana
belajar harus menyenangkan sehingga anak dapat memusatkan perhatian secara
penuh untuk belajar. Kondisi menyenangkan, aman dan nyaman akan mengaktifkan
bagian neo-cortex (otak berpikir) dan
mengoptimalkan proses belajar, serta meningkatkan kepercayaan diri anak.
5.
Pembelajaran
Terpadu
Collin dan Hazel
(1991:6-7) menyatakan bahwa pembelajaran terpadu merupakan suatu bentuk
pembelajaran yang memadukan berbagai peristiwa otentik (authentic events) melalui pemilihan tema yang dapat mendorong rasa
keingintahuan anak (driving force)
untuk memecahkan masalah melalui pendekatan eksploratif atau investigasi (inquiry approach).
Pada pembelajaran ini,
saat melakukan suatu kegiatan, anak dapat mengembangkan beberapa aspek
pengembangan sekaligus. Sebagai contoh: ketika anak melakukan kegiatan makan,
kemampuan motorik halus anak dilatih untuk memegang sendok dan menyuap nasi,
kemampuan berbahasa dengan mengenal kosa kata tentang nama jenis sayuran dan
peralatan makanan, dan pendidikan moral dengan berdo’a sebelum makan.
Model pembelajaran
terpadu beranjak dari tema yang menarik anak (center of interest), agar anak mampu mengenal berbagai konsep
secara mudah dan jelas sehingga pembelajaran semakin bermakna dan membangkitkan
minat anak.
6.
Pengembangan
Keterampilan Hidup
Maddaleno dan Infante (2001:5)
mengidentifikasi tiga kategori kunci dalam life
skill, yaitu:
1.
Keterampilan
sosial dan interpersonal
2.
Keterampilan
kognitif
3.
Keterampilan
meniru emosi
Metode pembelajaran life skill harus bervariatif, antara
lain dengan metode bernyanyi, bercerita, bermain peran, demonstrasi dan
penugasan. Tujuan pembelajaran ini adalah mempersiapkan anak baik secara
akademik, sosial, dan emosional dalam menghadapi kesulitan dimasa yang akan
datang.
Sudiana (2004:3)
mendefenisikan keterampilan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang
untuk berani menghadapi problematika hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa
merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi
hingga akhirnya mampu mengatasinya. Keterampilan atau kecakapan hidup perlu
dipelajari sejak dini, agar nanti anak dapat bertahan dalam kehidupannya kelak,
untuk bertahan hidup seorang manusia harus memiliki pengetahuan diri (self knowledge).
G. Prinsip
Pembelajaran Anak Usia Dini
1.
Anak
Sebagai Pembelajar Aktif
Pendidikan hendaknya
mengusahakan agar anak menjadi pembelajar aktif. Pendidikan seperti ini
bertumpu pada metode pembelajaran John Dewey (learning by doing) dan dilanjutkan oleh Killpatrik dengan
pengajaran proyek.
Proyek pada dasarnya
merencanakan suatu pemecahan masalah pada berbagai bidang studi (pengembangan)
yang memungkinkan murid melakukan berbagai bentuk kegiatan mempelajari,
menyimpulkan, dan menyampaikan berbagai temuan yang dilakukan anak-anak dalam
memahami berbagai pengetahuan.
Montessori dalam Seldin
(2004:5) menganggap bahwa anak tidak perlu dilatih terus menerus menulis suatu
kata, karena sambil bermain aktif membuat huruf dan mengarsir huruf itu, suatu
saat anak tiba-tiba mengetahui bahwa dia dapat menulis, ini disebut sebagai
eksplorasi menulis.
Metode yang diberikan
berupa pemecahan masalah dan penyampaian penemuan mereka. Sebagai contoh: anak
membuat kerajinan tangan sesuai dengan inspirasi (daya khayal) mereka sendiri, anak
mengarang dan membuat puisi sendiri, mengamati suatu tanaman dan mencari tahu
apa nama tanamannya, dll.
2.
Anak
Belajar Melalui Sensori dan Panca Indera
Menurut pandangan dasar
Montessori meyakini bahwa panca indera adalah pintu gerbang masuknya berbagai
pengetahuan ke dalam otak manusia (anak), karena perannya yang sangat strategis
maka seluruh panca indera harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai
dengan fungsinya.
Dalam konsep ini, anak
mengeksploitasikan seluruh inderanya, mengamati dan memahami segala hal dengan
inderanya lalu dapat menyebutkan fungsi dari masing-masing panca indera.
Misalnya anak melakukan eksperimen tentang aneka rasa (kopi: pahit, gula:
manis, garam: asin, sambal: pedas, dll).
3.
Anak
Membangun Pengetahuan Sendiri
Pestalozzi dalam
Soejono (1988:32), pendidikan pada hakikatnya usaha pertolongan (bantuan) pada
anak agar mampu menolong dirinya sendiri yang dikenal dengan “Hilfe Zur Selfbsthilfe” ; Pestalozzi
berpandangan, pengamatan seorang anak pada sesuatu akan menimbulkan pengertian,
bahkan pengertian tanpa pengamatan merupakan suatu pengertian kosong.
Pada konsep ini anak
dibiarkan belajar melalu pengalaman dan pengetahuan yang mereka pelajari sejak
lahir. Anak diberikan fasilitas yang dapat menunjang untuk membangun pengetahuan
mereka sendiri:
·
Anak diajak
untuk berpikir, percaya diri dan kreatif dalam mencari dan mendapatkan
pengetahuan yang mereka inginkan. Orang tua dan guru hanya lah fasilitator.
·
Setiap anak
diharapkan dapat menambah dan membangun pengetahuan mereka sendiri melalui
media cetak dengan studi literatur (kunjungan kepustaka), dan media elektronik
baik browsing internet maupun
menonton VCD edukatif.
4.
Anak
Berpikir melalui Benda Konkrit
Anak harus diberikan
pembelajaran dengan benda-benda yang nyata, agar anak tidak menerawang dan
bingung. Anak akan lebih dapat mengingat benda-benda yang dapat dilihat,
dipegang lebih membekas dan dapat diterima oleh otak dalam sensasi dan memori.
Menurut Lighart dalam Soejono
(1988:75-76), langkah dalam pengajaran dengan barang sesungguhnya:
1.
Menentukan
sesuatu yang menjadi pusat minat anak. Mis. Buah jeruk sebagai tema pembahasan
2.
Melakukan
perjalanan sekolah. Mis. Melakukan field
trip ke taman buah, untuk melihat tanaman jeruk
3.
Pembahasan hasil
pengamatan. Mis. Buah jeruk dipetik untuk dijual atau dibuat minuman
4.
Menceritakan
lingkungan yang diamati. Mis. Mengamati kegiatan petani jeruk.
5.
Kegiatan
ekspresi. Mis. Kegiatan ekspresi digambarkan pada bagan jaring laba-laba.
5.
Anak
Belajar dari Lingkungan
Pendidikan merupakan
usaha sadar dan terencana untuk mengoptimalkan potensi anak sehingga anak mampu
beradaptasi dengan lingkungannya. Disini jelas bahwa tujuan dari pendidikan
adalah kemampuan anak melakukan adaptasi dengan lingkungan dalam arti yang
luas, guna mendekatkan anak dengan lingkungannya.
Out
bound learning merupakan salah satu model pembelajaran
dimana hamper 90 % kegiatan dilakukan dengan berinteraksi dengan alam tanpa ada
kekangan. Dalam kegiatan ini anak diajarkan membangun ikatan emosional diantara
individu (anak), dengan menciptakan kesenangan belajar, menjalin hubungan dan
memengaruhi memori dan ingatan yang cukup lama akan bahan yang akan di
pelajari.
3 aspek penting dari alam menurut Vaquette
(1983:67), yaitu:
·
Alam merupakan
ruang lingkup untuk menemukan kembali jati diri secara kolektif dan menyusun
kembali kehidupan sosial.
·
Alam merupakan
ruang lingkup yang dapat dieksplorasi.
·
Peranan pendidik
di lokasi kegiatan.
H. Asas
Pembelajaran Anak Usia Dini
Asas
Perbedaan Individu
Setiap anak itu
unik, berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sehingga metode pembelajaran
memperhatikan perbedaan individu, misalnya: perbedaan latar belakang keluarga,
perbedaan kemampuan, perbedaan minat, gaya belajar, dan lain-lain agar anak
dapat mencapai hasil belajar secara optimal.
Asas
Kekonkretan
Melalui interaksi dengan benda-benda nyata dan pengalaman
konkret, pembelajaran perlu menggunakan berbagai media dan sumber belajar, agar
apa yang dipelajari anak menjadi lebih bermakna, misalnya, menggunakan gambar
binatang, atau membawa binatang hidup ke dalam kelas, menggunakan audio visual,
dll.
Asas
Apersepsi
Kegiatan mental anak dalam mengolah hasil belajar
dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya.
Oleh sebab itu dalam pembelajaran, pendidik hendaknya memperhatikan pengetahuan
dan pengalaman awal agar anak dapat mencapai hasil belajar yang optimal.
Asas
Motivasi
Belajar akan optimal jika anak memiliki motivasi untuk
belajar. Oleh karena itu pembelajaran dirancang sedemikian rupa sesuai dengan
minat, kebutuhan, dan kemauan anak. Misalnya mengapresiasi anak yang
berprestasi dengan pujian dan hadiah, memajang setiap karya dari mereka di
kelas, lomba antar kelompok yang membangkitkan semangat, melibatkan anak dalam
berbagai perlombaan, dan melakukan pekan unjuk kemampuan anak.
Asas
Kemandirian
Kemandirian adalah upaya yang dilakukan untuk melatih
anak dalam memecahkan masalah dengan mandiri. Pembelajaran yang baik dirancang
untuk mewujudkan kemandirian anak, misalnya bagaimana cara makan yang baik,
mengikat tali sepatu, bagaimana memakai baju, menggosok gigi, buang air kecil
dan buang air besar, merapikan mainan setelah dipakai, dan lain-lain.
Asas
Keterpaduan
Keterkaitan antara aspek pengembangan diri anak antara
satu dengan yang saling saling mendukung perkembangan anak. Sehingga
pembalajaran anak usia dini harus dilaksanakan secara terpadu guna meningkatkan
potensi diri mereka. Misalnya, perkembangan bahasa berkaitan dengan
perkembangan kognitif mereka, perkembangan kognitif berkaitan dengan
perkembangan diri, dan lain-lain.
Asas
Kerja Sama (Kooperatif)
Bekerja sama akan meningkatkan keterampilan sosial anak
dengan optimal. Oleh karena itu praktek berkerja sama harus ditanamkan dalam
PAUD untuk memupuk keterampilan sosial dengan baik, misalnya bertanggung jawab
terhadap kelompok, menghargai pendapat teman, aktif dalam kelompok, membantu
anak-anak yang lain, dan lain-lain.
Asas
Belajar Sepanjang Hayat
Pembelajaran
tidak hanya berlangsung pada usia dini, tapi berlangsung sepanjang hidup.
Sehingga PAUD harus dapat mengupayakan pembekalan pada anak, agar anak dapat
belajar disepanjang rentang kehidupan mereka dan mendorong anak untuk selalu
ingin belajar dimanapun dan kapanpun.
Sumber: - Sujiono,Yuliani. 2011.
Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta : PT. Indeks.
- Patmonodewo, Soemiarti.
2000. Pendidikan Anak Pra sekolah. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Mantap....
BalasHapusterima kasih atas tulisan dan postingannya ya,..mas
sangat membantu ku...menambah wawasan tentang PAUD
Terima kasih kembali ya mbak..
Hapus