2.1.
The Human Factors
Approach to Job Design
Sebuah rekayasa yang berlaku atau terjadi pada masa
Perang Dunia II, yaitu rekayasa faktor manusia. Rekayasa ini lebih menekankan
pada keberadaan manusia itu sendiri. Beda halnya dengan rekayasa industri yang
menggunakan aspek fisik dari rancangan pekerjaan dan ruangan kerjanya. Tokoh
yang mengembangkan rekayasa industry itu sendiri adalah Frederick Taylor dan
team suami-istri Frank dan Lillian Gilbreth lewat prinsip analisis dan studi
geraknya yang hingga saat ini masih dipergunakan.
Analisis waktu dan studi gerak itu sendiri merupakan
suatu strategi tambahan untuk menemukan cara yang paling efisien untuk
melaksanakan suatu pekerjaan. Analisis yang dimaksud meliputi studi perpindahan
karyawan untuk menemukan jalan untuk dapat memaksimalkan kecepatan dan
meminimumkan perpindahan yang kurang bermanfaat.
Studi waktu dan gerak dipusatkan pada penemuan cara
yang terbaik untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Secara tradisionalnya,
Psikologi Industri dan Organisasi jugalah yang berperan untuk menyesuaikan
karyawan dengan perkerjaannya, karena pekerjaan itu sendiri telah dirancang
melalui pemilihan dan pelatihan.
Namun, ketika rekayasa industri itu pun berada pada
puncaknya, dimana kemajuan teknologi mesin dan peralatan melampaui kemampuan
metode pemilihan dan pelatihan yang ada dan menimbulkan kesukaran atau
kesusahan dalam menyesuaikan karyawan dengan pekerjaan yang ada. Hal tersebutlah
yang mengakibatkan berlakunya konsep rekayasa faktor manusia dan menekankan
penyesuaian suatu pekerjaan dengan karyawan yang ada serta penyesuaian karyawan
yang ada dengan pekerjaannya(timbal balik).
2.1.1 Operator-Machine System
Istilah system mesin-operator berarti bahwa manusia
dan mesin bekerja bersama-sama untuk dapat menyelesaikan satu pekerjaan.
Bekerja secara bersama, namun dengan tugas yang berbeda. Dimana manusia difungsikan
sebagai pemegang kendali dan mesin itu sendiri yang melakukan pekerjaan,
misalnya mesin jahit, dimana manusia sebagai operator/pengendalinya dan mesin
jahitnya sendiri yang melakukan pekerjaannya. Namun pada system mesin-operator
lainnya ada yang terkadang harus memerlukan operator untuk memperhatikan berbagai
macam bentuk tampilan dan melakukan penyesuaian berdasarkan apa yang
dilihatnya. Contohnya pada mesin fotocopy yang mana masih menggunakan bantuan
operator pada bagian dalam mesin untuk dapat difungsikan atau dijalankan oleh
manusia.
Namun, akibat perkembangan zaman elektronika dan
komputer telah memberikan informasi kepada organisasi bahwa mesin sebenarnya
jauh lebih rumit daripada yang dibayangkan. Dimana pekerjaan yang dilakukan
oleh mesin-mesin yang modern tersebut terutama adalah suatu pengorganisasian
dan tampilan informasi. Operator manusia menggunakan informasi tersebut untuk
dapat terus melakukan sejumlah keputusan yang merupakan bagian utama dari
pekerjaannya.
Semakin rumit mesin-mesin modern menyebabkan semakin
besarnya tuntutan akan kemampuan persepsi dan kognitif dari operator manusia.
Tuntutan-tuntutan ini jugalah yang menambah tekanan bagi psikolog faktor
manusia untuk membantu para perancang industry membuat mekanisme kendali dan
tampilan yang kompatibel dengan kemampuan manusia. Dampak rancangan yang buruk
dari mekanisme kendali dan tampilan pada operasi manusia seringkali terlihat
dalam jumlah rata-rata kontak seseorang dengan obyek sehari-hari.
Dalam system
operator manusia ini, manusia biasanya lebih baik
untuk :
1. Mendeteksi kejadian
tak terduga /
tidak biasa (unprogrammed) di lingkungan
2. Mengenali pola rangsangan yang kompleks yang tidak selalu konsisten (sucsh sebagai ucapan
manusia)
3. Mengingat sejumlah
besar informasi terkait
selama jangka waktu yang lama
4. Menerapkan prinsip-prinsip untuk solusi dari masalah baru
5. Menggambarkan pada
pengalaman untuk
memodifikasi tindakan untuk
memenuhi kebutuhan situasional
berubah
6. Mengembangkan solusi
kreatif untuk masalah
7. Menggeneralisasikan
yang berdasarkan pengamatan yang ada (penalaran induktif).
Sedangkan
mesin sendiri biasanya lebih baik
untuk :
1. Membuat respon yang cepat dan
konsisten terhadap sinyal masukan
2. Menghitung atau mengukur kuantitas
fisik
3. Melakukan tindakan
repetitif andal
untuk standar yang ditetapkan
4. Mempertahankan tingkat tertentu dari kinerja
selama jangka waktu yang lama
5. Penginderaan rangsangan luar kemampuan
manusia yang paling
6. Mengambil informasi ditentukan dengan cepat dan akurat atas permintaan (dengan coding yang tepat dan intructions)
7. Menggunakan kekuatan besar secara terkendali untuk jangka waktu yang lama
8. Menggabungkan rangsangan ke dalam kelas tertentu
(penalaran deduktif)
Psikolog D.A.Norman (1988) menjelaskan contoh tentang pengaruh
dari desain kontrol yang buruk dan petunjuk mekanismenya beserta contoh penekanan
pada sleek design tanpa menghiraukan asumsi dasar dari human
engineering psychology: kriteria pertama untuk desain kontrol dan
petunjuknya adalah dapat bekerja baik dan mudah dimengerti, sedangkan kriteria
kedua yaitu tampilan dan kenyamanan bagi mereka yang memproduksi dan
memasangnya.
2.1.2
The
Design of Controls
Kendali mesin adalah alat yang
digunakan untuk mengaktifkan dan mengoperasikan mesin serta dapat menganggapnya
sebagai penghubung antara manusia dan mesin dalam system operator mesin. Dalam merancang
kendali tersebut, banyak keputusan yang harus diambil untuk menentukan rupa,
bentuk, dan letaknya relative terhadap kapasitas manusia, tujuan, dan kendali
atau tampilan lainnya.
Lima kendali yang sederhana dan sering
digunakan dibandingkan dengan empat kriteria operasi manusiawi adalah putaran
tangan, knob(continous), knob(clock stops), tombol tekan, dan pedal. Kriteria
yang disebutkan adalah kecepatan kendali yang dapat digunakan seorang operator
untuk membuat penyesuaian yang diperlukan, ketepatan kendali yang dapat
digunakan, usaha fisik yang diperlukan untuk menggunakan kendali, dan range
dari tanggapan yang dapat diterima oleh kendali.
Contoh yang dapat diambil adalah
kendali pada mobil yang terdiri dari mengaktifkan, menyetir, mempercepat,
mengerem, dan mengubah versneling. Kendali yang dapat dilakukan oleh operator,
yaitu:
·
Mulai menjalankan mobil adalah operasi yang tersendiri
·
Harus menyetir dan mempercepat secara bersamaan
·
Harus mengubah versneling secara bersamaan dengan menyetir dan
mempercepat sesuai keperluan
·
Harus mengerem sambil secara bersamaan menyetir dan mengubah
versneling.
Dari semua
contoh yang ada, dapat menjelaskan sebuah fakta tentang mesin tersebut yakni
bahwa operator mesin yang berpengalaman menjadi tergantung pada konfigurasi
tertentu dari kendali menekankan pentingnya penelitian faktor manusia di
belakang rancangan kendali tersebut.
2.1.3
The
Design of Display
Peragaan mesin
memberikan operator mesin informasi yang berhubungan dengan kerja. Informasi
tersebut dapat mengenai tentang operasi mesin, atau mungkin juga merupakan
keluaran yang sebenarnya dari mesin itu sendiri. Banyak mesin mempunyai peraga
untuk kedua macam kegunaan tersebut, baik dalam bentuk video maupun audio yang
terdiri atas ukuran, rupa, lokasi, bentuk, dan kompatibilitas.
Hubungan antara
persepsi manusia dan kemampuan mengolah informasi dan rancangan peragaan tsb
tidak selalu nyata, kadang-kadang kita telah jauh dari sasaran sebelum akhirnya
menemukan sesuatu yang penting mengenai hubungan tersebut. Terdapat beberapa faktor
yang dapat menentukan kemudahan dan kecepatan informasi tampilan visual dapat
dimengerti, yaitu penempatan dan faktor lingkungan sekitar yang mempengaruhi.
2.1.4 Work Methods
Metode kerja dan perubahan seseorang
dalam melaksanakan tugas merupakan bagian penting dalam job design. Metode kerja dan cara yang paling efektif dan cepat
untuk melaksanakan perkerjaan dipelajari dan diteliti secara intensif oleh para
insinyur teknik industri hingga sekarang. Walaupun usaha–usaha tersebut tidak
selalu dihargai oleh para pekerja yang melakukan pekerjaan karena ketika cara
yang lebih efisien ditemukan maka orang–orang dapat melakukan pekerjaan dengan
lebih cepat. Jadi manajemen mengharapkan adanya peningkatan produksi dengan
pengeluaran biaya yang sama.
Tujuan mempelajari metode kerja
adalah untuk promoting work dan tidak
terlepas dari itu, tujuan mempelajari metode kerja juga adalah untuk mengurangi
kelelahan pekerja dan meningkatkan keselamatan kerja. Akan tetapi sebagian
orang berpendapat bahwa cara yang paling efisien untuk melaksanakan pekerjaan
adalah dengan cara yang paling melelahkan. Promosi kerja yang paling efisien
adalah salah satu tujuan dari mereka yang meneliti tentang metode kerja dan
tidak dapat dipisahkan dari tujuan yang lain.
Studi tentang metode kerja
menggabungkan berbagai ukuran fisiologis seperti penggunaan energi, detak
jantung, dan usaha otot yang terlibat. Terdapat 2 jenis usaha yang terlibat,
yaitu usaha statik dan usaha dinamik. Usaha dinamik adalah usaha yang mana otot
secara bergantian berkontraksi dan rileks. Misalnya memindahkan barang.
Sedangkan usaha static adalah usaha yang dimana otot berkontaksi dalam jangka
waktu yang lama. Misalnya SPG yang berdiri dalam jangka waktu yang lama.
Perbedaan fisiologis antara
penggunaan usaha dinamik dan static adalah, usaha statik lebih membutuhkan
energi yang lebih banyak dibadingkan dengan usaha dinamik, sehingga membutuhkan
periode istirahat yang lebih panjang dan sering untuk menghindari adanya
penurunan keadaan pada tendon(kumpulan dari ujung otot) dan ligament(yang
menghubungkan persendian) atau harus mengurangi jumlah usaha static yang di
butuhkan dalam melaksanakan pekerjaan. Sedangkan usaha dinamik lebih mengarah pada
pergerakan alami sehingga tidak diperlukan masa istirahat yang panjang dan
sering.
2.1.5 Measurement of Workload
Pengukuran beban kerja dapat
didefenisikan sebagai istilah pengukuran dari perubahan beban fisik kerja yang
ditanggung oleh seorang pekerja, tetapi gagasan dasar adalah untuk
membandingkan syarat dari tugas kerja dengan kemampuan fisik dan batas rata–rata
dari pekerja, baik pria maupun wanita. Misalnya bagaimana seorang sarjana
desain grafis harus menghasilkan 3 desain yang menarik dalam seminggu dibandingkan dengan seorang
sarjana ilmu komputer.
Pengukuran yang subjektif mengenai beban kerja
merupakan salah satu penelitian ergonomic yang paling aktif dilakukan. Pada
beberapa studi digunakan pengukuran formal. Sedangkan peneliti lain menggunakan
perceived exertion yaitu penilaian
bagi siapa saja yang telah mengikuti instruksi latihan akademik. Data
investisigasi menunjukkan bahwa kebanyakan dari yang dijelaskan memabantu
insinyur teknik untuk mengembangkan physical
work method yang lebih manusiawi(mudah untuk dilaksanakan, tingkat
kelelahan rendah dan pekerjaan lebih sedikit), terkait dengan cedera dan
sebagainya.
2.1.6 The Workspace Envelope
Yang dimaksud dengan workspace envelope adalah ruang fisik
tiga dimensi yang mengellilingi pekerja dan dirasa unik bagi setiap pekerja.
Misalnya, kabin bagi nahkoda dan cockpit
bagi pilot. Pekerja seperti sales
sebenarnya tidak memiliki workspace
envelope yang tetap. Oleh karena itu ditetapkan bahwa workspace envelope adalah
ruangan berupa kantor pribadi ataupun ruangan yang dipakai bersama.
Pertanyaan-pertanyaan yang harus diselesaikaan dalam mendesain ruangan kerja
untuk mencapai work performance yang
efektif adalah sebagai berikut :
§ Bagaimanakah seharusnya ketinggian ruang
kerja ?
§ Apakah kursi yang digunakan individu
merupakan jenis kursi yang baik untuk digunakan dalam jangka waktu yang panjang
?
§ Dimanakah sebaiknya peralatan yang
digunakan sebaiknya diletakkan?
§ Dimanakah seharusnya meja dan kursi
diletakkan? Berkaitan dengan penyusunan rak-rak file, pintu dan sebaginya?
§ Bagaimanakah susunan dari workspace envelope yang membuat pekerja
tidak merasa terbatasi ataupun terjebak didalamnya?
Pertanyaan diatas hanyalah merupakan sebagian kecil
dari pertanyaan untuk mempertimbangkan bagaimana seharunya penyusunan workspace envelope. Grandjean (1982)
menyusun 10 daftar kriteria spesifik untuk desain kursi bagi pekerja kantoran.
Sepertinya itu merupakan solusi yang optimal untuk penyusunan workspace envelope akan tetapi ini
jarang dipraktikkan. Oleh karena itu, disusun dua buah prinsip sebagai pedoman
:
1. Untuk sejumlah kemungkinan, menyediakan workspace envelope kursi, meja dan
elemen lain yang didesain dengan baik/ sesuai.
2. Elemen yang tidak pas/ tidak sesuai
harus didesain bagi individu yang mungkin akan tidak nyaman atau kesulitan
dengan workspace envelope-nya. Misalnya
dengan pemberian meja yang tinggi bagi individu yang tinggi agar tidak
mengalami sakit punggung.
2.1.7
FLEXIPLACE : Alternative
Work Sites
Banyak organisasi dan kantor yang
tidak dapat memberikan workspace envelope
yang nyaman bagi pekerjanya. Oleh
karena itu berkembang sebuah alternatif untuk tetap bekerja dalam kantor yang
dikenal dengan flexiplace. Flexiplace adalah saat dimana pekerja
dapat bekerja dari rumahnya dan antar pekerja dapat saling bekerjasama dengan jaringan
komputer. Perusahaan dapat menentukan pekerjanya yang memenuhi syarat untuk
dapat bekerja Flexiplace. Flexiplace
ini bisa dilakukan ataupun tidak dilakukan, tergantung pada perusahaannya.
Bekerja dari rumah (di rumah)
bukanlah hal yang baru, namun sejumlah besar pekerja perusahaan bisa melakukan
pekerjaan penuh waktu di rumah merupakan fenomena yang relative baru. Teknologi
telah memungkinkan karyawan untuk dapat bekerja tanpa harus meninggalkan rumah.
Misalnya seperti pialang saham, progamer computer, dan analis pasar dapat
melakuakn seluruh pekerjaan mereka dari rumah. Pekerja ini merupakan telecommuters karena mereka menggunakan
computer dan teknologi komunikasi lainnya daripada harus pulang-pergi dari
kantor ke rumah.
Telekomuting memberikan keuntungan kepada perusahaan
seperti peningkatan produktifitas dan penghematan biaya dan juga menawarkan
sesuatu yang diinginkan pekerja seperti mengatur jadwal sendiri dan memberikan
keuntungan bagi pekerja yang memiliki anak yang masih kecil. Akan tetapi telekomuting
menyebabkan banyak pekerja yang kehilangan interaksi social dari kantor atau
munculnya ketakutan akan kurangnya visibilitas yang akan menyebabkan
ketidakstabilan karier.
2.1.8. Challenges to Human Factors Job Design
Inti
dari pendekatan human factor pada job design adalah mencapai keharmonisan
antara human perceptual, kognisi dan
kemampuan fisik ; metode kerja, peralatan, mesin dan bantuan kerja lainnya dan
wilayah/ lingkungan kerja dilaksanakan. Elemen-elemen ini telah ditinjau secara
terpisah, tapi pada prakteknya mereka harus bekerjasama. Namun, tujuan ini
sering kali tidak terpenuhi.
Telekomuting tidak membantu
menjelaskan masalah. Kebanyakan orang tidak memiliki pengetahuan untuk
mengkonfigurasikan ruang kerjanya secara tepat, meskipun pengembangan program
baru untuk membantu memahami pengaturan workstation
yang lebih pantas dan prinsip penyesuaian mungkin dapat membantu (Hochanadel,
1995)
Terdapat pengecualian, tapi banyak perubahan butuh
mengakomodasi kebutuhan khusus pekerja. Bagi beberapa orang, menggunakan suatu
alat yang dapat membantu pekerjaannya malah dianggap sulit oleh orang tersebut
dalam menggunakannya.
Namun, sebenarnya perubahan-perubahan tersebut dapat
membantu pekerja dalam lebih memahami masalahnya dan cara mengatasinya yaitu dengan
menggunakan alat bantu. Bagi pekerja yang belum dapat menggunakan alat bantu
tersebut maka akan diberikan pelatihan (training)
dalam menggunakannya.
Ergonomi partisifatif dapat digunakan untuk
menjembatani kebutuhan antara pendekatan human
factor untuk job
design dan pendekatan psikologis. Ergonomi partisifatif adalah metode yang
konsisten dengan kedua nilai psikolog I/O bertempat pada individu dan apa yang
dipelajari sebelumnyva tentang upaya perubahan organisasi yang efektif.
2.2
The Psychological Approach
to Job Design
Pendekatan psikologi pada job design ditandai dengan asumsi bahwa efektivitas dan efisiensi
yang berkorelasi dengan kepuasan. Banyak Psikolog percaya bahwa kepuasan adalah
kunci seseorang untuk mencapai Aktualisasi diri (Maslow,1943) dan memenuhi
kebutuhan tersebut sangat penting sebagai motivasi kerja. Ada tiga teknik merancang pekerjaan
berdasarkan pendekatan psikologi, yaitu: job
enlargement, job enrichment, dan sosiotechnical
job design.
Dalam beberapa masalah kerja seperti pemborosan
waktu, keterlambatan, kehilangan pegawai, kualitas pekerjaan yang buruk,
tingkat perpindahan karyawan yang tinggi, tingkat absensi yang tinggi, dan
pemborosan bahan,Para Psikolog I/O menganjurkan
pemeriksaan aspek rancangan pekerjaan secara psikologi.
2.2.1 Job Enlargement
Keputusan
dasar dalam Job Design adalah berapa banyaknya tugas yang harus disertakan
dalam definisi sebuah pekerjaan. Ada dua sistem
pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi yaitu pelaksanaan tugas berkali-kali
dan pelaksanaan semua tugas yang membuat pekerjaan lengkap. Pada
beberapa Restoran, Contohny : tugas melayani pelanggan dibagi antara beberapa
pelayan, pelayan minuman anngur, pelayan yang mencatat pesanan, pelayan dapur
yang mengantarkan makanan ke meja, dan pelayan yang membersihkan. Di restoran
lain, satu orang melaksanakan semua fungsi tadi. Pada awal tahun 1800an,
seorang warga negara inggris memperagakan bahwa 10 orang, masing-masing hanya
melaksanakan satu tugas, dapat menghasilkan satu pon pin lurus dengan biaya
seperempat dari biaya yg diperlukan jika pin tersebut diproduksi oleh satu
orang yang mengerjakan semua tugas.
Pendekatan
spesialisasi terhadap rancangan pekerjaan ini dipromosikan dan digunakan dengan
sukses di Amerika Serikat oleh para insinyur
industri.suksesnya spesialisasi pekerjaan tersebut dalam hal efektivitas
dan efisiensi sehingga spesialisasi pekerjaan menjadi dasar untuk hampir setiap
rancangan pekerjaan industri di negara tersebut. Spesialasi memungkinkan setiap
karyawan berkonsentrasi untuk menghasilkan sesuatu yang baik pada satu atau
beberapa tugas. Namun mengerjakan tugas yang sama terus menerus, delapan jam
sehari, lima hari seminggu, dan banyak orang yang merasa bosan dan tidak
berarti. Strategi rancangan pekerjaan
yg berusaha untuk mengurangi atau
menghilangkan hal-hal yang berpotensi menyebabkan masalah disebut Job Enlargement.
Job
Enlargment adalah sebuah rencana
membuat pekerjaan “lebih besar” atau “lebih luas”, dengan menambahkan jumlah
tugas kerja yang harus dilakukan setiap orang . Biasanya, tugas yang diberikan
berada pada tingkat keterampilan atau kesulitan yang sama seperti tugas aslinya
( a horizontal loading of tasks).
Contohnya: seorang grafik designer yg mulanya hanya mendesign logo dan kartu
nama perusahaan,sekarang jg ditugaskan untuk mendesign cover buku. Job enlargement berfungsi agar seorang karyawan
tidak bosan bekerja, karena diberi tugas baru walaupun pekerjaan tersebut masih
dalam tingkat keterampilan/ kesulitan yang sama.
Job
Enlargement menjadi cukup populer pada tahun 1950an dan 1960an karena
adanya minat terhadap sebab-akibat dan pengaruh kebosanan karyawan dan malas
bekerja. Psikolog berasumsi bahwa spesialisasi tugas membuat frustasi orang
yang butuh akan variasi , untuk menghadapi tantangan, dan untuk rasa membuat
kontribusi yang berarti dalam menggapai tujuan kelompok. Job Enlargment dapat mengatasi masalah tersebut.Dalam penerapannya
Job Enlargemnet memiliki sejumlah masalah praktis.
Hasil-hasil penelitian terhadap pengaruh terhadap perluasan
pekerjaan hampir selalu positif. Seperti yang dilaporkan oleh Killbridge
(1960). Dalam studi tersebut. perluasan pekerjaan dari perakitan pompa air dari
satu tugas menjadi merakit, memeriksa, menguji keseluruhan pompa menghasilkan
penghematan yang cukup besar bagi perusahaan yang bersangkutan. Ternyata
tidak semua pekerjaan dapat diperluas dan tidak semua orang mau pekerjaannya
diperluas, meskipun hal itu mungkin. Sebagai tambahan, persayaratan kemampuan
dan keahlian pekerjaan mungkin diluar kemampuan dari si pemegang pekerjaan.
Beberapa dari mereka harus diberikan pelatihan dan beberapa harus diganti.
2.2.2
Job Enrichment
Sebagai pendekatan Psikologi terhadap rancangan
pekerjaan, Job enrichment mempunyai banyak kesamaan dengan Job Enlargement. Prinsip utama dari
kedua desain pekerjaan ini didasarkan pada pengapresiasian kebutuhan manusia
akan kerja adalah penting. Perbedaannya
adalah pada konsep bagaimana mencapainya. Job
Enlargement bekerja atas asumsi bahwa pekerjaan bergantung pada jumlah dan
variasi dari tugas yang ditampilkan pada umumnya. Sementara itu, Job Enlargement tidak bergantung pada
jumlah dari tugas melainkan dari jenis tugas tersebut.
Job
Enrichment biasanya
memberikan kepada karyawan lebih banyak tanggung jawab dan kekuasan mengambil
keputusan yang berhubungan dengan perencanaan, penjadwalan, dan pengendalian
kerja mereka sendiri. Tugas yang ditambahkan untuk memperkaya pekerjaan
biasanya adalah tugas bertipe manajemen (management-type
tasks) yang merupakan vertical
loading of job tasks yang maksudnya seorang karyawan diberi tugas yang levelnya diatas
pekerjaan pokoknya saat ini. Dalam melakukan Job
Enrichment, teori Hackman dan Oldham (1975, 1976) tentang teori motivasi
sangat mempengaruhi pekerjaan. Menurut teori tersebut, the core dimensions dapat meningkatkan motivasi karyawan,
kepuasan kerja, kerja yang berkualitas, mengurangi absensi dan turnover (pindah kerja). Hal
ini mempengaruhi tiga psikologis internal yaitu pengalaman yang berarti,
tanggung jawab, dan hasil pengetahuan. Efeknya akan lebih tinggi pada pekerja
yang memiliki kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang yang lebih tinggi, dan
mereka juga tergantung kepada beberapa tingkat tertentu dalam konteks kepuasan.
Job Enrichment memilki keuntungan dan kerugian dalam dunia kerja.
Keuntungan dari Job Enrichment apabila diterapkan di dunia kerja yaitu dapat
membuat lebih termotivasi untuk bekerja dan memperluas serta memperdalam
kualitas dari pekerjaan yang digelutinya itu. Job Enrichment juga dapat
menimbulkan dampak negatif bagi pekerja yaitu pekerja yang telah terstimulasi
secara optimal dalam pekerjaannya. Pekerja yang telah optimal seperti ini akan
mengalami overstimulasi jika pekerjaannya disertakan dalam program Job Enrichment. Program Job Enrichment lebih berhasil jika
dikenakan pada pekerja yang tidak takut terhadap tanggung jawab baru dan yang
menganggap penting bekerja keras untuk mencapai keberhasilan pribadi dalam
lingkungan kerjanya. Job Enrichment sebagai mediator untuk
promosi karyawan.
2.2.3 Perceived Versus Objective Task Characteristics.
Hackman dan Oldman (1974) mengembangkan sebuah instrumen kuesioner yang disebut Survei pekerjaan
dignostic (JSD) untuk mengukur sejauh mana pekerjaan memiliki 5 karakteristik
dalam model mereka. Asumsi yang mendasari skala adalah bahwa lebih dari masing-masing karakteristik orang yang
melakukan pekerjaan mengatakan itu memiliki, yang lebih kaya pekerjaan.
Sementara itu, The Job Characteristics
Inventory (JCI) merupakan alat yang berbeda tetapi memiliki tujuan yang
sama, dan Breaugh (1985, 1989) mengembangkan sebuah kuisioner terpisah untuk
mengukur otonomi pekerjaan (work
autonomy). JDS telah sering digunakan sebagai definisi operasional kekayaan
pekerjaan, dan investigasi dari pengukuran sifat skala ini telah dilakukan.
Penelitian ini menemukan bahwa campuran positif dan negatif pada JDS yang asli
menunjukkan kesalahan yang signifikan dalam skor.
Dalam beberapa
kasus, kuisioner terbaik dari sudut pandang pengukuran tidak benar-benar dapat
mengukur kekayaan pekerjaan. JDS dan JCI dan beberapa kuisioner yang serupa
lainnya sebenarnya digunakan untuk mengukur sejauh mana pekerjaan dirasakan
oleh orang yang menjawab pertanyaan tersebut untuk memiliki
karakteristik-karakteristik ini. Persepsi tentang karakteristik pekerjaan yang
sama dapat bervariasi berdasarkan perbedaan dalam preferensi individu, latar belakang, usia, dan tingkat identitas
dengan profesi seseorang. Persepsi
mengenai karakteristik pekerjaan dipengaruhi oleh usia, dan identifikasi
individual terhadap profesi pekerjaan, bahkan jenis kelamin orang yang
bersangkutan juga ada relevansinya.
Menurut Salancik dan Pfeffer persepsi karakteristik pekerjaan
juga dapat dilakukan dengan model pengolahan informasi sosial. Dimana dalam
model ini, orang mengambil petunjuk dari karyawan lain tentang cara sikap yang
“benar” terhadap pekerjaan. Jika rekan kerja mengatakan bahwa pekerjaannya
besar, karena menyediakan kesempatan untuk memberikan kontribusi positif pada
masyarakat, karyawan diminta untuk mengisi sebuah kuisioner seperti JDS yang
sangat mungkin untuk mengatakan bahwa pekerjaan itu memiliki makna tugas yang
tinggi. Pentingnya variabel individu dan
situasional yang mempengaruhi bagaimana orang melihat dan menggambarkan pekerjaan mereka terletak pada
kenyataan bahwa orang bereaksi terhadap
pekerjaan mereka berdasarkan cara mereka melihat mereka, bukan pada bagaimana seorang
psikolog I/O melihat mereka.
Dari sudut pandang ini tidak
ada hal seperti "obyektif"
karakteristik tugas, situasi yang dapat mengacaukan upaya penelitian
dan menciptakan kesulitan praktis yang cukup untuk psikolog I/O berusaha untuk membantu organisasi menerapkan desain ulang pekerjaan pengayaan.
Terdapat banyak
aplikasi pendekatan psikologis terhadap desain pekerjaan yang telah membawa ke
arah peningkatan kepuasan kerja karyawan, prestasi yang lebih baik, atau
kedua-duanya (Hackman & Oldham,1980). Akan tetapi sulit sekali
mempertahankan perbaikan tersebut untuk jangka waktu yang lama. Salah satu
sebabnya adalah manusia yang selalu berubah.
2.2.4 Socialtechnical Job Design
Pandangan sosiotkenis dari organisasi adalah pandangan sistem yang
menekankan perlunya hubungan yang seimbang antara manusia dan komponen
teknologi dari sebuah organisasi.Pandangan ini berasal dari kerja yang
dilakukan oleh para peneliti innggris di Tavistock Intstitute of Human
Relations (Trist&Bamforth,1951) dan telah mempunyai dampak yang berarti
pada masalah-masalah yang berkaitan dengan perancangan organisasi
(Cummings&Markus,1979).Rancangan pekerjaan dan organisasi sosial menunjuk
pada perluasan teknologi pekerjaan. Beberapa teknologi memperbolehkan individu
bekerja dengan bebas. Teknologi lain menciptakan tugas yang menghendaki pekerja
bekerja bersama-sama.
Bila diterapkan dalam rancangan pekerjaan, prinsip-prinsip dasar
sosioteknis seringkali menganjurkan pendekatan kelompok atau tim kerja dan
bukan perorangan. Kelompok karyawan diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan
sejumlah unit pekerjaan dan mereka memutuskan antara mereka sendiri dan siapa
yang melaksanakan tugas tertentu pada saat tertentu. Aplikasi yang paling
terkenal dari strategi ini adalah apa yang dihasilkan sejumlah percobaan di
pabrik Saab-Scania di Swedia pada akhir tahun 1960-an. Hasil dari
percobaan-percobaan pabrik tersebut mengalihkan rancangan standar continuous
assembly line untuk perakitan mesin model ke rancangan kelompok perakitan paralel.
Dengan menggunakan metode kelompok perakitan paralel, beberapa
tim karyawan bertanggung jawab untuk perakitan keseluruhan mesin dan
masing-masing tim bekerja dengan kecepatannya sendiri. Meskipun akibatnya
kemudian adalah melepaskan rancangan sosio-teknis tersebut, kesuksesan tersebut
dan program lain yang mirip Volvo dan perusahaan Eropa yang lain telah membawa
sejumlah perusahaan AS mengambil prinsip-prinsip tadi.
Meskipun rancangan
sosio-teknis seringkali dinyatakan sebagai salah satu bentuk untuk job enrichment, termasuk juga
prinsip-prinsip dasar dari perluasan pekerjaan-variasi tugas atau keterlibatan
perorangan dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Dalam tim rancangan
pekerjaan, tidak ada seorang pun yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan
pekerjaan, tetapi masing-masing dapat melihat bagaimana usahanya merupakan
bagian dari penyelesaian pekerjaan tersebut. Satu hal yang juga sama pentingnya
ialah tidak ada seorangpun yang dibatasi pada satu tugas yang monoton dan
berulang-ulang kecuali memang hal itu yang dikehendakinya.
2.2.5
Challenges to
Psychological Job Design
Selama beberapa waktu peneliti dan aplikasi dari
rencana kerja motivasi di dominasi oleh model-model karakter pekerjaan itu dan
cara pengukuran terkait. Konsentrasi ini menambahkan informsi yang sangat besar
terhadap pencapaian pengetahuan para ahli psikologi industri organisasi
mengenai design kerja psikologis. Pada saat yang bersamaan hal ini juga telah
memfokuskan perhatian terhadap serangkaian variabel tertentu yang telah sangat tidak
diperhatikan oleh fitur pekerjaan lain.
Model karakteristik pekerjaan dikembangkan lebih
dari 20 tahun yang lalu. Selama masa itu, pekerjaan telah berubah jauh lebih
banyak dikarakter dasarnya daripada pada saat apapun juga semenjak revolusi
industri. Walaupun tidak ada alasan untuk percaya bahwa karakteristik kerja
yang disebut oleh model ini ketinggalan zaman, ada berbagai macam kemungkinan
bahwa karakteristik ini tidak lagi mencakup semua hal. Tantangan besar yang
dihadapi oleh orang-orang yang bekerja di area ini adalah memperluas jarak
pandang mereka untuk meneliti pekerjaan-pekerjan teknologi baru untuk berbagai
macam karakter berbeda yang mempunyai efek penting terhadap performa dan
kesejahteraan seorang pekerja (Jakson, Wall, Martin, & Davids, 1993).
Tantangan kedua yang dihadapi psikolog I/O yang
bekerja dengan pendekatan psikologi terhadap design kerja adalah memperbaiki
kesatuan antara penelitian dan aplikasinya. Ini adalah area penelitian yang
sangat aktif tapi cuma sebagian kecil dari penelitian yang dipublikasikan yang
berdasarkan interfensi lapangan. Hasil dari kebanyakan investigasi menyatakan
bahwa efek dari “job enrichment”, “job enlargement”, atau design kerja
sosioteknikal tidaklah semudah mendeskripsikan sebuah perbedaan antara pengukuran
kepuasaan atau performa kerja sebelum dan sesudah penelitian. Seperti yang
dijelaskan oleh penelitian yang dilakukan oleh Griffin (1991), efek yang
diobservasi oleh sebuah design kerja mungkin berbeda tergantung kepada kapan
observasi itu dibuat. Penelitian lain menjelaskan bahwa pendekatan seperti ini
terhadap design pekerjaan juga mempengaruhi jauh lebih banyak daripada
bagaimana seseorang itu melakukan pekerjaannya.
Ketika sekelompok pekerja diberikan skill baru dan
tanggung jawab lebih untuk membuat keputusan dan mendeteksi serta mengkoreksi
kesalahan, sifat dasar pekerjaan dari pengawas mereka juga diubah. Mengubah
pekerjaan ini akan mempengaruhi aktifitas sang manager dan seterusnya. Desaign
kerja psikologi tidaklah sendirian dalam hal menciptakan sistem efek seperti
ini dalam sebuah organisasi, tetapi isu yang terkait cenderung jauh lebih
emosional politikal dan filosofikal daripada isu-isu yang berkenaan dengan
pendekatan faktor manusia.
2.2.6 Concluding Remarks on Job Design
Dua pandangan yang sangat berbeda terhadap design
pekerjaan sudah didiskusikan. Tujuan dari psikologi dan ahli faktor manusia
adalah untuk mendesign pekerjaan dengan satu cara supaya membantu orang
melaksanakannya secara efektif, efisien, dan selamat dengan tingkat kelelahan
dan tekanan minimum. Tujuan psikologi I/O yang mengambil pendekatan psikologi
terhadap design pekerjaan adalah untuk membuat pekerjaannya lebih memuaskan.
Kedua tujuan itu saling melengkapi satu sama lain dalam teori tapi sangatlah
jarang untuk menemukan bahwa kedua bidang ini diaplikasikan dalam gaya yang
terintegrasi.
Tentu saja ada pengecualian tapi secara umum
psikologi I/O dan psikologi faktor manusia mempunyai tradisi lama untuk tidak
mengindahkan keberadaan satu sama lain. Sebuah pandangan yang lebih produktif
mengatakan memakai faktor manusia atau faktor psikologi sebagai bahan
pertimbangan sejak awal.
Pendekatan yang berbeda terhadap design pekerjaan
mempengaruhi hasil yang berbeda, setiap pendekatan tadi mempunyai biaya dan
keuntungan, trade-offs mungkin diperlukan dan baik teori dan prakteknya
seharusnya berhubungan antar disiplin.
2.3
Working Conditions
Design
pekerjaan adalah salah satu komponen dari situasi kerja seseorang. Kondisi keja
yang menimbulkan komponen yang lain. Ahli psikologi I/O telah mempelajari
lingkungan kerja fisik selama sejarah panjang bidang ilmu ini. Ini biasanya
terlupakan, tetapi eksperimen Hawthore yang terkenal itu aslinya di buat untuk
menginvestigasi efek perubahan yang dibuat diberbagai macam aspek lingkungan
fisik terhadap performa kerja seorang pegawai. Aspek-aspek tradisional inilah
yang akan ditinjau disini yang termasuk adalah variabel seperti temperatur,
cahaya lampu, keributan, arsitektur dan pengaturan tempat kerja dan distribusi
dari jam kerja pegawai. Aspek psikologi dari lingkungan kerja akan diteliti di
chapter berikut ini.
2.3.1
Temperature of
Workplace
Psikolog dan orang-orang yang mempelajari efek
temperatur terhadap sifat kerja mencoba untuk menentukan batasan dimana
kebanyakan orang dapat melakukan suatu pekerjaan secara efektif dan nyaman. Ini
tidak semudah seperti yang terdengar karena tidak ada hubungan satu demi satu
yang sederhana antara apa yang tertera di termometer dengan apa yang dianggap
nyaman oleh manusia. Kelembapan aliran udara dan jumlah, ukuran, dan suhu dari
objek dan materi disebuah tempat kerja mempengaruhi temperatur udara. Pakaian
dan sifat pekerjaan yang sedang dilakukan akan mempengaruhi persepsi seseorag
terhadap temperatur. Lagipula perbedaan individu dalam hal fisiologi dapat
mempunyai efek besar terhadap kenyamanan. Beberapa orang tidak merasa dingin
sampai mercury-nya menunjukkan 40-50 derajat F. Yang lainnya mulai gemetar
begitu merury-nya turun kebawah 70 derajat F.
Karena begitu banyak variabel yang mempengaruhi
persepsi manusia terhadap temperatur, satu jenis penelitian terhadap aspek
kondisi kerja ini diarahkan kepada menemukan cara yang terpercaya untuk megukur
“temperatur efektif” yaitu temperatur yang dirasa atau dialami yang berbeda
dengan temperatur yang tertera (e.g., Vogt, Candas, & Libert, 1982).
Perkembangan dari rangsangan komputer untuk memprediksi reaksi manusia terhadap
temperatur dalam berbagai macam kondisi lingkungan adalah hal yang baru tapi
menjanjikan untuk menolong menemukan sebuah jawaban terhadap perdebatan temperatur
sebuah kantor.
Para ilmuan yang sedang menginvestigasi cara untuk
mengukur temperatur efektif sedang melakukan penelitian dasar. Tetapi di area
ini kebanyakan psikolog I/O jauh lebih tertarik terhadap penelitian aplikasi,
terutama di hubungan antara temperatur efektif dan performa kerja. Mereka
menemukan bahwa keekstriman baik dalam hal panas maupun dingin akan mengacu
kepada perubahan fisiologi yang dapat mempunyai efek yang tidak diinginkan
terhadap performa kerja. Sifat dasar dari pekerjaan yang dilakukan dan
panjangnya keterpaparan adalah dua faktoryang biasanya mempuyai pengaruh paling
besar mengenai bagaimana temperatur ekstrim ditempat kerja mempengaruhi orang.
Kebanyakan penelitian mengenai tugas kognitif
kompleks yang memerlukan perhatian terus menerus menunjukkan bahwa
subjek-subjek yang melakukan pekerjaan ini dan dibawah keterpaparan terhadap
temperatur tinggi yang terus menerus melakukan lebih banyak kesalahan dari pada
subjek-subjek yang bekerja di temperatur rendah. Hasil yang dilaporkan dalam
suatu penelitian dalam laboratorium terhadap hubungan antara a).temperatur
ruang b).jumlah waktu dimana subjek dapat meneruskan untuk melakukan
tugas-tugas kognitif sesuai dengan standart ketepatan yang diminta
dipertontonkan di figure 8-8. Waktu berkurang sangat tajam apabila temperatur
naik kira-kira 80 derajat F, ditemperatur diatas 100 derajat F subjek-subjek
tidak dapat memenuhi standart performa selama setidak-tidaknya satu jam.
Performa untuk tugas-tugas motorik
juga cenderung memburuk ditemperatur tinggi. Di tugas-tugas seperti ini
seseorang mesti mendapat rangsangan (persepsi) dan kemudian memberikan
respon(reaksi motorik) berdasarkan apa yang dilihat atau didengar atau dicium
atau dirasa. Temperatur dingin mempunyai efek buruk terhadap jenis-jenis
tertentu dari tugas-tugas kogntif dan motorik, tapi perubahan fisiologi yang
menyertai rasa dingin yang ekstrim (contohnya jari yang membeku) biasanya
mempunyai efek yang lebih besar terhadap pekerjaan manual.
Apabila kerja manual yang sangat berat dilakukan,
kebanyakan orang kelihatannya lebih efisien dan nyaman dengan temperatur
dibawah pekerjaan-pekerjaan dimana tugas kognitif dan tugas motorik dapat
dilakukan secara efektif.
Hasil dari penelitian temperatur untuk mengontrol
temperatur di lingkungan kerja biasanya langsung. Kebanyakan orang melakukan
kerja-kerja kantor dan kerja manual ringan paling efisien dan paling nyaman
dengan temperatur efektif yang tidak lebih tinggi daripada 80 derajat F.
Temperatur yang lebih dingin biasanya lebih bagus untuk kerja manual berat.
Rekomendasi khusus untuk berbagai tugas kerja ditawarkan oleh American Society
of Heating Refrigerating and Air Conditioning Engineers di buka Fundamentals
Handbook mereka ditinjau secara periodik.
Rekomendasi ASHRAE ini bedasarkan asumsi bahwa
temperatur tempat kerja dapat dikontrol, tapi banyak orang yang bekerja diluar
ruangan. Pekerja bangunan, perkebun dan pmadm adalah orang-orang yang bekerja
yang diteperatur apapun yang ada. Jika temperatur-temperatur ini ekstrim, baik
kesehatan maupun performa pekerja berada dalam bahaya kecuali jika efek
fisiologi buruk ini di perbaiki dengan cara rotasi kerja atau masa-masa
istirahat reguler.
2.3.2 Illumination of the Workplace
Seperti para peneliti yang meneliti tentang pengaruh
suhu udara terhadap efektivitas dan kenyamanan kerja, para peneliti illuminati
(pencahayaan) juga ingin membuat rumusan tentang tingkat pencahayaan terbaik
dalam lingkungan kerja. Pertanyaan – pertanyaan yang berhubungan dengan
pencahayaan adalah jumlah sumber cahaya (disebut dengan luminaries), jenis, dan
penempatannya dalam lingkungan kerja. Persepsi tentang cahaya, sama halnya
seperti persepsi tentang suhu udara berbeda-beda bagi setiap orang, tergantung
pada kemampuan melihat seseorang dan keadaan ruangan, hanya saja perbedaannya
tidak terlalu dramatis. Oleh karena itu, menentukan pencahayaan dalam
lingkungan kerja lebih mudah dari pada menentukan suhu udara kerja.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam
pengaturan pencahayaan ruang kerja. Hal pertama adalah jenis pekerjaan. Tugas
seperti membaca atau mengawasi ( monitoring ) akan lebih membutuhkan banyak
sumber cahaya dari pada mengangkat telepon, mengatur pertemuan, atau memindahkan kardus. Hal kedua yang perlu diperhatikan dalam
pengaturan pencahayaan adalah atribut visual benda-benda yang digunakan dalam
bekerja, misalnya warna dan ukuran.
Membaca pada umumnya memang membutuhkan pencahayaan
yang banyak, tetapi tidak selalu demikian. Contohnya, dibutuhkan lebih banyak
cahaya untuk membaca huruf-huruf yang berukuran kecil pada buku telepon dari
pada untuk membaca huruf-huruf yang berukuran besar pada kertas karton. Begitu
juga dengan warna-warna tertentu, misalnya kuning, atau merah, dapat lebih
mudah dibaca dalam pencahayaan yang lebih sedikit dari pada warna lainnya,
seperti abu-abu, coklat, atau hijau. Hal ketiga yang perlu diperhatikan dalam
pengaturan cahaya adalah kontras warna. Biasanya pada pencahayaan yang lebih
sedikit dibutuhkan warna-warna yang lebih kontras untuk mencapai akurasi dalam
bekerja (Gilbert & Hopkinson, 1949).
2.3.3 Noise in the Workplace
Keributan di lingkungan kerja dapat terjadi dari
beberapa sumber. Beberapa karyawan di bidang industri, bekerja dalam keributan
yang tidak memungkinkan untuk melakukan percakapan biasa. Karyawan di kantor
pasti juga harus tahan bekerja dengan suara mesin-mesin di kantor, bunyi
telepon, percakapan antar orang-orang, bahkan musik. Keributan di tempat kerja,
bersumber dari alat-alat, mesin, dan orang-orang yang bekerja.
Suara dapat berpengaruh pada fisik dan psikologis
tergantung pada pilihan kondisi kerjanya. Setelah lebih dari 50 tahun melakukan
penelitian, beberapa peneliti menemukan bahwa mendengar keributan dalam jangka
waktu yang lama akan menghambat performa kerja seseorang atau bahkan menghambat
proses mempelajari suatu tugas kerja baru (Loewen & Key & Payne, 1981).
Akan tetapi, beberapa peneliti lain menemukan bahwa pengaruh negatif dari suara
ribut terhadap performa kerja tidak dapat diprediksi (Davies & Jones,
1985).
Hal ini tentu membingungkan. Akan tetapi selain
pertimbangan psikologis, suara ribut di ruang kerja juga harus ditinjau dari
segi fisik. Bekerja dengan mendengar suara ribut yang terus menerus akan
merusak pendengaran seseorang. Contohnya, pekerja lapangan yang terus menerus
mendengarkan suara mesin akan mengalami gangguan pendengaran atau bahkan hampir
kehilangan pendengaran.
National Institute Occupational Safety and Health
(NIOSH) memperkirakan lebih dari 30 juta orang bekerja dalam suasana ribut yang
dapat mengganggu pendengaran. Untuk itu, Kementerian Tenaga Kerja AS
menyarankan pelindung bagi para pekerja yang beresiko terkena gangguan
pendengaran. Hasilnya, banyak pekerja yang menggunakan pelindung telinga selama
bekerja. Bagi para pekerja yang lebih menyukai bekerja dengan musik, disarankan
menggunakan earphone saja, agar tidak mengganggu pekerja yang lain yang mugkin
tidak dapat bekerja dengan mendengarkan musik.
2.3.4
Working-Hour Distribution
Menanggapi berbagai pengaruh, jam kerja pola
distribusi di negeri ini telah berkembang menjadi pengaturan standar delapan
jam per hari, lima hari seminggu. Organisasi yang harus beroperasi selama lebih
dari delapan jam berturut-turut per hari biasanya memiliki dua atau lebih
delapan jam-shift, tetapi sejumlah variasi pada pola standar telah dirancang
dan diimplementasikan. Dua diantaranya --- The Compressed Work Week dan Flexible
Working Hours --- dibahas di sini, bersama dengan beberapa kesimpulan dari
penelitian standar perubahan-pola kerja.
2.3.5
The Compressed Work Week
A Compressed Work Week
(CWW) adalah pembagian standar kembali pada
40 jam kerja. Pada umumnya, orang bekerja empat hari dalam seminggu dan
masih dimasukkan ke dalam 40 jam karena mereka bekerja 10 jam sehari. Beberapa
industri dan profesi telah mengembangkan rencana lain. Beberapa menawarkan tiga
hari, 12 jam hari kerja "seminggu". Bank dunia di Washington D.C
bereksperimen dengan rencana 9/1, yang memberikan karyawan yang waktu
bekerja diperpanjang sembilan jam
perhari maka hari kesepuluh libur.
Kompresi seminggu kerja menawarkan karyawan sebuah waktu pribadi lebih besar daripada
pengaturan jam kerja standar. Manfaat yang diyakini terkait adalah berkurangnya
peningkatan kecemasan dan stres dalam kehidupan di rumah. Diharapkan bahwa manfaat selanjutnya
akan dikaitkan dengan berkurangnya ketidakhadiran dari tempat kerja, tingkah
laku yang lebih baik terhadap organisasi, kepuasan kerja lebih baik, dan
produktifitas meningkat.
Penelitian kedalam ekspektasi
disebutkan secara umum tertinggal dibelakang adopsi dari berbagai bentuk
rencana. Salah satu kajian awal literatur tentang penjadwalan kerja (Ronen
& Primps, 1981) muncul hanya 14 laporan yang jelas relevan dengan isu-isu
CWW. Penelitian ini mendukung asumsi bahwa penjadwalan diasosiasikan dengan
peningkatan di dalam kualitas kehidupan rumah dan waktu luang. Dalam sedikitnya
lebih dari setengah studi ditinjau, ada
juga perubahan positif hadir dan melaporkan kepuasan kerja. Kelelahan karyawan,
bagaimanapun, cenderung untuk meningkat di bawah CWW.
Penelitian ketika peninjauan oleh
Ronen and Primps pada umumnya mendukung asosiasi diantara implementasi dari CWW
dan meningkatkan kepuasan dengan penjadwalan kerja. (e.g. Cunningham, 1989;
Dunham, Pierce, & Castanѐda, 1987). Ada berkurangnya bukti peningkatan
produktivitas, tetapi beberapa bukti bahwa performa tidak berkurang dibawah
penjadwalan CWW (e.g., Duchon, Keran & Smith, 1994). Di sisi lain,
kelelahan tetap menjadi masalah, dan ada kekhawatiran bahwa hal itu dapat
menyebabkan kecelakaan dan cedera lebih.
Meskipun ada beberapa kelemahan
potensial, kompresi minggu kerja tampaknya akan ada pada caranya menjadi
sesuatu yang biasa. Pada pertengahan tahun 1990-an, sekitar 25% organisasi
terbesar memakai penjadwalan ini untuk beberapa atau semua karyawannya. Banyak
alasan dibalik ini, diantaranya adalah fakta bahwa CWW menghasilkan cara untuk
menganggapi meningkatnya permintaan pada fleksibilitas tempat kerja yang jauh
lebih mudah untuk mengelola daripada yang paling umum alternatif nya, flextime
(jam kerja yang fleksibel).
2.3.6
Flexible Working Hours
Istilah
Flexible Working Hours (disingkat Flextime atau Flexitime) mengacu pada
berbagai rentang variasi dalam pendistribusian jam kerja. Semuanya dikarakteristikkan
dengan beberapa jumlah jam pokok ketika semua karyawan dalam organisasi
bekerja, bersamaan dengan beberapa fleksibilitas waktu datang dan waktu pulang
keduanya termasuk dalam bagian utama(core). Konsep dasarnya
diilustrasikan dalam figur 8-11. Pada diagram ini seluruh karyawan harus
bekerja antara jam 09:15 pagi sampai jam 12:00 siang, dan 02:00 siang sampai
jam 04:15 sore (jam pokok), tetapi mereka mempunyai waktu fleksibilitas yang
besar ketika mereka datang, makan siang, dan pulang. Seseorang boleh dapat
datang bekerja lebih cepat sekitar jam 07:30 pagi dan pulang sekitar jam 04:15
sore.; yang lainnnya boleh datang paling lama jam 09:15 pagi dan pulang jam 6
sore.
Figure
8-11, The concept of Flextime
Flextime sudah ada sejak lebih dari 60 tahun yang
lalu. Pemerintahan memulai untuk meneliti dengan jam kerja yang padat pada
tahun 1930an, ketika lalu lintas di daerah Kolombia meningkat tajam daripada
pembangunan jalan, dan karyawan terlambat dan tidak hadir bekerja mulai
merajalela.
Karyawan datang dan pergi pada waktu
yang berbeda adalah situasi yang tidak layak pada suatu organisasi, tetapi itu
dapat ditangani, keuntungan potensial dari flextime untuk karyawan sangat
besar. Mereka dapat menghindari jam sibuk lalu lintas, menangani tugas pribadi selama
jam bisnis normal bukannya mencoba untuk menyesuaikan pada waktu makan siang
atau saat akhir pekan, di rumah ketika anak-anak pulang sekolah atau tidur
lama, apapun sesuai dengan kebutuhan khusus dan situasi mereka.
Penelitian mengenai flextime
lebih komprehensif daripada compressed work week. Terdapat sejumlah uji
coba lapangan pada pengaturan kerja, seperti yang dilakukan oleh Narayan dan
Nath (1982). Subjek penelitiannya adalah karyawan dari sebuah perusahaan besar
multinasional. Kelompok percobaan (Flextime) dan kelompok kontrol (jam kerja
standar) disesuaikan pada usia, masa jabatan, pendidikan, gaji, dan tingkat
kehadiran. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok pada
tindakan produksi atau laporan kepuasan kerja, tetapi subjek penelitian
menunjukan pekerjaan fleksibilitas yang lebih bagus, hubungan kelompok kerja
lebih baik, hubungan supervisor-subordinate yang lebih baik, sedikit
ketidakhadiran dibandingkan kelompok kontrol.
Narayanan dan Naith menemukan bahwa
flextime diasosiasikan dengan berkurangnya ketidakhadiran adalah konsisten
dengan penelitian lainnya. Review pada 24 flextime, Raltson dan Flanagan (1985)
melaporkan bahwa ketidakhadiran dan turnover berkurang pada kebanyakan
semua organisasi yang mengukur variabel itu.
Asosiasi antara implementasi dari
flextime dan pengurangan ketidakhadiran lebih handal daripada hubungan lain
antara flextime dan peningkatan produktivitas. Bukti yang ada cukup untuk
menunjukkan bahwa kesimpulan yang paling valid itu tergantung.
Figure 8-12 membandingkan
produktivitas kelompok karyawan program komputer (eksperimen) dari sebuah
lembaga negara dengan kelompok kontrol dari lembaga yang sama. Data dikumpulkan
tiga kali; 0-6 bulan sebelum flextime diimplementasikan (Pretest), 0-6 bulan setelah
flextime (posttest), dan 12-18 bulan setelah flextime (long posttest). Pada
waktu pengukuran long posttest, program komputer memiliki produktivitas
dibawah flextime sekitar 25% dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Sejumlah situasi pekerjaan dimana co-workers
harus membagi peralatan relatif kecil, dan keuntungan produktivitas dari
flextime dalam situasi lain belum didemonstrasikan dengan cara yang meyakinkan.
Seperti kompresi minggu kerja, bagaimanapun, flextime terlihat diasosiasikan
dengan peningkatan kepuasan kerja (e.g, Ralston, 1989), sama baiknya dengan
penurunan ketidakhadiran pada karyawan yang berpartisipasi dalam sukarela.
Seorang psikolog industri dan
organisasi yang membuat hipotesis sebuah hubungan negatif antara kepuasan kerja
dan ketidakhadiran yang terjadi untuk
mengadakan studi pada sebuah perusahaan dengan berkedudukan kuat dan suksesnya
kompresi minggu kerja atau kebijakan penjadwalan kerja flextime di tempat
sangat baik dalam mengumpulkan data yang mendukung hipotesis (seperti yang
didiskusikan, kepuasan kerja cenderung meningkat dan ketidakhadiran cenderung
menurun dibawah keduanya dari pendisrtibusian jam kerja).
Apakah kepuasan
kerja dan ketidakhadiran berhubungan satu sama lain dalam suatu organisasi?
Tanpa informasi berlebih, tidak ada cara untuk menentukan. Dua variabel
(kepuasan kerja dan ketidakhadiran) yang berhubungan berhubungan dengan
variabel ketiga (penjadwalan kerja non-tradisional) tidak selalu berhubungan
antara satu sama lain. Jika sebelumnya ketidakhadiran pada perusahaan itu
menghasilkan upaya karyawan yang gagal untuk kehidupan pribadi dan kehidupan
kerja, psikolog industri dan organisasi mengamati hubungan antara
ketidakhadiran dan kepuasan kerja (terkadang) memiliki hubungan yang tidak
tepat.
2.4
Shift Work
Pergantian kerja adalah suatu pekerjaan dalam periode waktu 24 jam yang mana
satu atau kelompok orang dijadwalkan atau diatur untuk bekerja di tempat
kerja (Tayari and Smith, 1997). Pergantian kerja biasanya diterapkan
pada sektor pekerjaan yang memberikan pelayanan 24 jam sehari misalnya rumah
sakit, kantor polisi, pemadam kebakaran, dll. Pergantian kerja adalah metode
pembentukan dari distribusi jam kerja. Sistem shift work biasanya dibagi
menjadi 3 bagian yaitu day (pagi), afternoon (siang),
dan night (malam). Sistem seperti ini memberikan jam kerja yang
berbeda-beda pada setiap karyawan. Selain itu dalam kurun waktu tertentu,
biasanya shift dalam karyawan akan disusun ulang.
2.4.1 Shift Work and Attitudes
Banyak karyawan yang bekerja dalam sistem shift work
lebih suka dengan sistem kerja yang permanen. Alasan utamanya adalah gangguan
pada kebiasaan makan, waktu bertemu keluarga, dan kehidupan sosial. Persepsi
setiap orang berbeda-beda terhadap sistem kerja shift work ini. Berdasarkan
hasil penelitian, sepertiga dari pekerja memilih bekerja secara permanen pada
shift malam. Selain itu, penelitian yang lain juga menunjukkan fakta pemilihan
shift malam secara sukarela juga baik bagi para pekerja (Barton, Smith,
Totterdell, Spelten, & Folkard, 1993; Dirkx, 1993).
Beberapa keuntungan dari sistem kerja malam adalah
pengawasan lebih sedikit, jumlah pekerjaannya biasanya lebih sedikit, dan
memberikan kebebasan pada siang hari untuk melakukan keperluan pribadinya.
Selain itu ada juga sekelompok pekerja lain, yang memilih sistem shift work
berotasi. Misalnya, 4 hari shift malam, 3 hari off (tidak bekerja), dan 5 hari
shift siang. Oleh karena itu, sangat baik bila pekerja dibiarkan memilih susunan
shift kerja yang sesuai dengan mereka.
2.4.2 Shift Work and Job Performance
Tidak banyak laporan dari psikolog Industri dan
Organisasi tentang perbedaan kinerja pekerja pada shift nya masing-masing. Satu
hal yang pasti, mereka menemukan adanya kecenderungan bahwa pada shift malam,
hasil kerja pekerja lebih rendah dan tingkat kesalahan lebih tinggi (Jamal
& Jamal, 1982). Berikut ini adalah beberapa penjelasan mengapa hal itu
mungkin terjadi.
1.
Pekerja sebenarnya tidak ingin bekerja pada malam hari tetapi demi mempertahankan
pekerjaannya mereka tetap bekerja pada malam hari, sehingga mereka bekerja
kurang maksimal atau rentan membuat kesalahan kerja atau kedua-duanya.
2. Banyak fasilitas pendukung kerja dalam
perusahaan pada malam hari, sudah dimatikan. Sehingga walaupun pekerjaan bisa
diselesaikan, tetapi biasanya tidak sepenuhnya selesai karena informasi
pendukungnya tidak cukup.
3. Pengawasan pada malam hari lebih sedikit pada beberapa organisasi
sehingga akan mempengaruhi kinerja.
4. Pekerja yang bekerja pada malam hari
sebagai akibat dari rotasi shift, akan sulit beradaptasi secara fisik sehingga
mengganggu kinerjanya (Totterdell, Spelten, Smith, Barton, & Folkard,
1995).
2.4.3
Shift Work and Employee
Health
Kedua shift kerja baik siang maupun malam tidak
dapat terhindarkan pekerja. Pekerja shift malam biasanya lebih rentan mengalami
masalah kesehatan daripada pekerja shift siang (Costa, 1996). Rotasi shift
kerja bahkan bisa lebih berbahaya bagi kesehatan karena tubuh harus mampu
beradaptasi pada jam kerja yang baru. Apalagi para pekerja tidak diizinkan
untuk melakukan hal-hal selain pekerjaan termasuk makan atau tidur sebelum ada
pergantian.
Kesimpulannya, banyak faktor termasuk kecepatan
rotasi shift (seberapa sering seseorang berpindah), arah rotasi shift (dari
siang ke malam atau sebaliknya), jenis pekerjaan, dan lamanya tidur yang bisa
didapatkan pekerja pada saat tidak masuk kerja, mempengaruhi respon pekerja
terhadap shift kerja (Knauth, 1996). Di samping itu, tidak semua orang secara
negatif dipengaruhi oleh penyimpangan dari rutinitas, serta peranan tertentu
karakteristik individu karyawan mungkin cukup besar (e.g., Hārmā, 1996).
2.4.4 Work Scheduling and Work-Related Fatigue
Kebutuhan beroperasi selama 24 jam sering
mengakibatkan kurangnya waktu tidur dan mengakibatkan kelelahan pada banyak
pekerja. Sebagaimana diukur oleh kualitas performa kerja, kelelahan dengan
cepat merupakan kelemahan utama terbesar pada compressed work week dan schedule
flextime. Hal tersebut juga merupakan masalah utama bagi orang-orang yang
bekerja lembur (over time). Ada banyak perusahaan yang menginginkan
jumlah produksi yang besar tetapi tidak ingin menambah pekerja. Oleh karena
itu, kerja lembur menjadi satu-satunya jalan yang ditempuh perusahaan. Strategi
ini memang terbilang cukup efektif dan banyak pekerja suka bekerja lembur
karena mendapat uang tambahan. Akan tetapi hal ini kemudian menjadi penyebab
utama kelelahan pada pekerja.
Jam panjang
dan/atau jadwal tidak teratur bukan satu-satunya
penyebab kelelahan di tempat kerja, juga tidak semua kelelahan
fisik (e.g., Okogbaa, Shell, & Filipusic, 1994). Berbagai faktor
lain dalam situasi kerja juga terkait dengan
pengalaman kelelahan. Finkelman (1994) melaporkan
bahwa, hal lain dianggap sama, karyawan yang memiliki kontrol
pekerjaan yang rendah, tingkat upah rendah, pengawasan yang
kurang, dan tantangan kerja yang rendah adalah lebih besar
kemungkinannya untuk mengalami nonjadwal yang berhubungan
dengan kelelahan. Faktor pribadi, seperti tidur yang buruk,
makan, dan kebiasaan kesehatan umum juga berperan dalam
perlawanan yang lebih rendah untuk kelelahan.
Ada banyak contoh lain diantaranya, faktor kelelahan
dinyatakan pada 1989 landasan Exxon Valdez, pada tahun 1994
terjadi kecelakaan DC-8 pada sebuah pangkalan angkatan udara Amerika Serikat.
Setelah diselidiki ternyata navigator sudah bekerja selama 21 jam penuh tanpa
tidur dan pilotnya bekerja hampir 24 jam.
Selain hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan ada
juga faktor lain yang dapat menyebabkan kelelahan pada pekerja yaitu pola tidur
dan pola makan yang tidak teratur. Ada juga pekerja yang mempunyai dua
pekerjaan, hal tersebut bisa mengakibatkan kelelahan juga. Intinya, apapun yang
menyebabkan kelelahan pekerja pada saat kerja pasti mempengaruhi kesehatan,
keselamatan, dan kinerja secara negatif. Semakin lama hal ini terjadi, semakin
besar kemungkinan terjadi pengaruh negatif tersebut.
Solusi untuk hal ini, contohnya perusahaan dapat
memberikan short naps (tidur singkat) kepada pekerja yang terlihat sudah sangat
kelelahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tim Z menemukan bahwa awak
pesawat yang diberikan tidur singkat 40 menit selama penerbangan, lebih waspada
dan memiliki kinerja yang lebih baik daripada awak pesawat yang lain. Dalam hal
seperti ini Psikolog Industri dan Organisasi mampu memberikan kontribusi yang
signifikan khusunya melalui penelitian untuk menunjukkan hubungan antara
kelelahan dan kinerja pekerja, ketidakhadiran, turnover, dan kepuasan
kerja.
E.M.C SHOP : Barang yang Kami Tawarkan Semuanya Barang Asli Original Garansi Resmi Distributor dan Garansi TAM .
BalasHapusSemua Produk Kami Baru dan Msh Tersegel dLm BOX_nya.
BERMINAT HUB-SMS: 0857-1721-2087 ATAU KLIK WEBSET RESMI KAMI http://www.emc-shop.blogspot.com/
BlackBerry>Samsung>Nokia>Apple>Acer>Dell>Nikon>DLL
Dijual
Ready Stock !
BlackBerry 9380 Orlando - Black
Rp.900.000,-
Ready Stock !
BlackBerry Curve 8520 Gemini
Rp.500.000,-
Ready Stock !
BlackBerry Bold 9780 Onyx 2
Rp.800.000,-
Ready Stock !
Blackberry Curve 9320
Rp.700.000,-
Ready Stock !
Samsung Galaxy Tab 2 (7.0)
Rp. 1.000.000
Ready Stock !
Samsung Galaxy Nexus I9250 - Titanium Si
Rp.1.500.000,-
Ready Stock !
Samsung Galaxy Note N7000 - Pink
Rp.1.700.000
Ready Stock !
Samsung Galaxy Y S5360 GSM - Pure White
Rp.500.000,-
Ready Stock !
Nokia Lumia 800 - Matt Black
Rp.1.700.000,-
Ready Stock !
Nokia Lumia-710-white
Rp. 900.000,-
Ready Stock !
Nokia C2-06 Touch & Type - Dual GSM
Rp.450.000,-
Ready Stock !
Nokia Lumia 710 - Black
Rp. 900.000,-
Ready Stock !
Apple iPhone 4S 16GB (dari XL) - Black
Rp.1.200.000,-
Ready Stock !
Apple iPhone 4S 16GB (dari Telkomsel)
Rp.1.200.000,-
Ready Stock !
Apple iPod Touch 4 Gen 8GB
Rp.700.000
Ready Stock !
APPLE iPod Nano 8GB - Pink
Rp.500.000,-
Ready Stock !
Acer Aspire 4752-2332G50Mn Core i3 Win7 Home
Rp 1.300.000
Ready Stock !
Acer Aspire S3-951-2364G34iss
Rp. 1.200.000,-
Ready Stock !
Acer Aspire 5951G Core i7 2630 Win 7
Rp. 2.500.000,-
Ready Stock !
Acer Aspire 4755G Core i5 2430 Win 7 Home Premium Green
Rp. 2.500.000,-
Ready Stock !
Nikon D7000 kit 18-105mm
Rp.1.700.000
Ready Stock !
Nikon D90 Kit 18-105mm Vr
Rp 1.300.000
Ready Stock !
Nikon Coolpix L 120 Red
Rp. 900.000
Ready Stock !
Nikon Coolpix P 500 Black
Rp 1.000.000
nice blog :)
BalasHapusThank you. :)
Hapus