Nama Anggota : 1. Permata
Ismawarni Putri (12- 030)
2. Zahrani
(12-040)
3.
Mia Audina (12-084)
4.
Muhammad Anggy Fajar Purba (12-104)
5.
Arif Mubarakallah (12-122)
MANAJEMEN KELAS PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah
lain untuk menggantikan kata Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan adanya
kelainan khusus yang memiliki karakteristik berbeda antara satu dengan yang
lainnya. ABK terdiri atas beberapa kategori. Kategori cacat A (tunanetra) ialah
anak dengan gangguan penglihatan, kategori cacat B (tunawicara dan tunarungu)
ialah anak dengan gangguan bicara dan gangguan pendengaran. Kategori ini dijadikan satu karena biasanya
antara gangguan bicara dan gangguan pendengaran terjadi dalam satu keadaan,
kategori cacat C (tunagrahita) ialah anak dengan gangguan intelegensi
rendah atau perkembangan kecerdasan yang terganggu, kategori cacat D
(tunadaksa) ialah anak dengan gangguan pada tulang dan otot yang mengakibatkan
terganggunya fungsi motorik, kategori cacat tunalaras ialah anak dengan
gangguan tingkah laku sosial yang menyimpang, kategori anak berbakat ialah anak
dengan keunggulan dan kemampuan berlebih (IQ tinggi), dan kategori anak
berkesulitan belajar ialah anak dengan ketidakberfungsian otak minimal.
1.
MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI KELAS BAGI TUNANETRA
Tunanetra adalah seseorang yang memiliki Hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan.
1.
Alat Pendidikan
Alat pendidikan bagi
tunanetra terdiri dari : Alat pendidikan khusus, alat Bantu peraga dan alat
peraga.
a.
Alat Pendidikan Khusus :
Reglet dan pena
Mesin tik Baille
Printer Braille
Abacus
b.
Alat Bantu
Alat bantu perabaan
(buku-buku, air panas/dingin, batu, dsb)
Alat Bantu pendengaran (kaset, CD,
talkingbooks)
c.
Alat Peraga
Alat peraga tactual atau audio yaitu alat
peraga yang dapat diamati melalui perabaan atau pendengaran.(patung hewan,
patung tubuh manusia , peta timbul)
2.
Low Vision
Alat Bantu pendidikan
bagi anak low vision terdiri dari alat Bantu optic, alat Bantu kacamata, kaca
mata pembesaran dan alat peraga.
a. Alat Bantu Optik :
Kaca mata
Kaca mata perbesaran
Hand magnifer
b. Alat Bantu
Kertas bergaris besar
Spidol hitam
Lampu meja
Penyangga buku
c. Alat Peraga
Gambar yang diperbesar
Benda asli yang
diawetkan
Patung / benda model tiruan
3. Tenaga Kependidikan
Tenaga Kependidikan yang dibutuhkan antra lain :
a. Guru
b. Psikolog
c. Dokter mata
d. Optometris
4. Layanan Pendidikan
a. Jenjang Pendidikan dan lama pendidikan :
1) TKKh/TKLB : 3 tahun
2) SDKh/SDLB : 6 tahun
3) SMPKh/SMPLB : 3 tahun
4) SMAKh/SMALB : 3 tahun
b. Model Pendidikan
1) Pendidikan Inklusif
Pendidikan Inklusif adalh pendidikan pada sekolah umum yang disesuaikan
dengan kebutuhan siswa yang memerlukan pendidikan khusus pada sekolah umum
dalam satu kesatuan yang sistemik.
Kurikulum yang digunakan pada pendidikan inklusif adalahkurikulum yang fleksibelyang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa.
Kurikulum yang digunakan pada pendidikan inklusif adalahkurikulum yang fleksibelyang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa.
2) Pendidikan Khusus (SLB)
Pendidikan Khusus (SLB)
adalah lembaga pendidikan yang menyeleng-garakan program pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus.
3) Guru Kunjung
Model guru kunjung
dilakukan dalam upaya pemerataan pendidikan bagi anak tunanetra usia sekolah.
Model ini diberlakukan dalam hal anak tunanetra tidak dapat belajar di sekolah
khusus atau sekolah lainnya karena tempat tinggal yang sulit dijangkau, jarak
sekolah dan rumah terlalu jauh, kondisi anak tunanetra yang tidak memungkinkan
untuk berjalan, menderita berkepanjuangan , dan lain-lain.
2.
MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI KELAS BAGI TUNARUNGU
Ø Desain Kelas
Ruang kelas SLB terbagi atas lantai 1 dan lantai 2
dengan keterangan sebagai berikut:
o
Lantai bawah
1. Kelas
Taman 1 (kelas latihan) dengan luas ruangan sekitar 5x6 meter dengan jumlah
murid 15 anak. Kondisi ruang kelas cukup terang dengan 2 ventilasi yang
memungkinkan anak merasa nyaman seperti di rumah sendiri. Selain itu ruang
kelas juga dilengkapi dengan 2 kipas angin supaya udara tidak terlalu panas.
Untuk ubin ruang kelas dibuat dengan pecahan keramik yang berbeda motif serta
ukuran dan tentunya ini ada unsur mengenalkan seni kepada anak. Sarana lain
yang ada di ruang kelas yaitu berupa meja-kursi guru, meja-kursi siswa, lemari
kayu, papan tulis whiteboard lengkap dengan boardmarker dan penghapusnya, kotak
berwarna-warni lengkap dengan alat permainan, tulisan-tulisan, gambar (buah, sayuran),
foto keluarga, foto siswa sendiri yang disertai dengan nama yang disebut
sebagai kartu identifikasi. Kartu ini sebagai media pengenalan diri sendiri dan
orang disekitarnya karena anak tunarungu kesulitan dalam hal mengenal diri
sendiri. Di depan kelas ini terdapat lemari yang cukup besar sebagai tempat
properti drum band dan buku-buku pelajaran.
2. Kelas
Taman 2 dengan luas 5x6 meter dan jumlah
siswa 7 anak. Kondisi ruangan cukup terang dengan 2 ventilasi. Sarana yang ada
di dalam ruang kelas yaitu meja-kursi melengkung, 3 papan tulis blackboard 1
dipasang di depan, 2 di samping dan belakang kelas masing-masing ukuran 2x1
meter, gambar dan tulisan, meja-kursi guru, kipas angin, dan lemari.
3. Kelas
sebelum Taman 1 (adik kelas) dengan luas ruangan 7x4 meter dan jumlah siswa 12
anak, 3 diantaranya tidak aktif. Kondisi ruangan agak gelap dan panas karena
ventilasi hanya terdapat pada sisi atas sebelah utara. Sarana yang ada di kelas
yaitu meja-kursi melengkung, papan tulis blackboard, gambar dan tulisan,
meja-kursi guru, lemari, 1 kipas angin dan tongkat dari bambu (tuding: dalam
bahasa jawa) yang dipakai guru dalam mengajar.
4. Kelas
Dasar 2 dengan luas 3x4 meter dan jumlah siswa 6 anak. Sarana yang ada di dalam
ruangan yaitu meja-kursi melengkung, papan tulis blackboard lengkap, meja-kursi
guru serta berbagai gambar dan tulisan. Kondisi kelas agak gelap jadi dibantu
penerangan lampu neon.
5. Kelas
Dasar 1 dengan luas 5x4 meter dan jumlah siswa 8 anak. Kondisi kelas agak gelap
karena ventilasi hanya terdapat pada dinding atas sisi sebelah timur saja.
Sarana yang ada di dalam kelas yaitu meja-kursi melengkung, papan tulis
blackboard, berbagai gambar dan tulisan.
6. Kelas
Taman 3 dengan ukuran 8x5 meter dan jumlah siswa 12 anak. Sarana yang ada di
dalam kelas yaitu meja-kursi melengkung, meja-kursi guru, gambar dan tulisan,
papan tulis blackboard, dan lemari.
7.
o Lantai
atas
1. Kelas
Dasar 4 dengan ukuran 3x4 meter dan jumlah siswa 6 anak. Sarana yang ada di
dalam kelas yaitu meja-kursi melengkung, meja-kursi guru, papan tulis
blackboard lengkap, gambar-tulisan, 1 kipas angin, dan lemari. Kondisi ruangan
cukup panas karena berada di lantai 2.
2. Kelas
Dasar 5 dan 6 dengan ukuran 3x4 dengan jumlah siswa 7 anak.
3. Kelas
dasar 3 dengan ukuran 3x4 dan jumlah siswa 7 anak.
4. Kelas
SMP yang hanya diisi oleh 2 siswa saja namun ruangannya cukup luas karena
digabung dengan ruang musik dan BKBPI. Masih satu ruangan terdapat TV dan
lemari. Ruangan ini juga biasa digunakan sebagai ruangan pembelajaran keagamaan
(non muslim).
Selain ruang kelas, ruangan SLB lain yaitu sebagai
berikut:
a. Ruang
artikulasi
Sebenarnya ruangan ini bukan ruangan artikulasi dan
hanya berukuran 2x3 meter. Supaya memiliki fungsi lalu digunakan sebagai ruang
artikulasi sementara. Di dalam ruangan ini dilengkapi dengan speech trainer,
meja-kursi dan kipas angin. Di sisi sebelah barat ada ventilasi sehingga
ruangan cukup terang.
b. Ruang
keterampilan
Ruangan ini digunakan untuk pembelajaran
keterampilan siswa. Ukuran ruangan cukup luas dan terang.
c. Ruang
multifungsi (ruang tamu, kantor, kepsek)
Di dalam ruangan ini terdapat pajangan visi misi
sekolah, denah, meja-kursi tamu, lemari dan komputer.
d. Gudang
dengan ukuran sekitar 3x3 meter. Di gudang terdapat sarana penimbang berat
badan, ring basket, dan kasur pegas.
e. UKS
(lantai 2) ukurannya sekitar 2x3 meter
yang dilengkapi dengan 1 set tempat tidur.
f. Dapur.
g. Kamar
mandi di lantai 1 dan lantai 2.
h. Tempat
wudhu di lantai 1.
i. Aula
Ø Kemampuan Guru
o
Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya
sebelum anak tunarungu dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus
memiliki bahasa yang dapat menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas
inklusi dan mampu berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar
anak tunarungu mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa
harus menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu
hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami
pembelajaran yang diberikan oleh guru.
o
Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan
khusus harus memiliki guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik
lagi jika guru pendamping tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa
dengan bidang kajian yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di
kelas inklusi.
o
Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu
serta sedapat mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran
yang diberikan dapat dipahami dengan mudah.
o
Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran
bagi anak tunarungu seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip
intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan.
o
Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat
menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus.
o
Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan
khusus.
Ø Materi Pengajaran
o
Keterarahwajahan
Dalam
menyampaikan materi pembelajaran, guru harus berdiri di depan sehingga wajah
guru khususnya mulut guru dapat dilihat oleh anak tunarungu tanpa terhalang apapun,
sehingga anak tunarungu dapat memahami apa yang disampaikan oleh
gurunya.Hindari memberikan penjelasan sambil berjalan baik di depan kelas
maupun ke belakang kelas.Ketika berbicara dengan tunarungu harus berhadapan
langsung (face to face) sehingga pesan yang disampaikan dapat dipahami dan
pembelajaran dapat lebih dimengerti.
o
Keterarahsuaraan
Bagi
anak tunarungu suara tidak perlu keras dan kencang, namun guru harus berbicara
jelas dengan artikulasi yang tepat sehingga dapat dipahami oleh tunarungu. Dengan
demikian pembelajaran yang dilakukan tidak sia-sia.
o
Intersubyektifitas
Dalam pembelajaran guru dan siswa
tunarungu sebagai unsur yang penting harus dapat membangun suatu kesamaan dalam
proses pengamatan, apa yang akan diucapkan oleh anak dengan perantara visualnya
harus segera direspon dan dibahasakan kembali oleh guru.
o
Kekonkritan
Dalam memberikan pembelajaran kepada
anak tunarungu harus konkrit hal ini dikarenakan anak tunarungu daya
abstraksinya rendah dibandingkan anak mendengar karena minimnya bahasa yang
dimiliki. Segala sesuatu yang diajarkan hendaknya disertai dengan contoh-contoh
nyata dan yang mudah dipahami.
o
Visualisasi
Pendengaran anak tunarungu tidak
dapat berfungsi maka melalui indera penglihatannya anak tunarungu berusaha
memperoleh informasi, untuk itu semua pembelajaran yang diberikan oleh guru
hendaknya dapat diilustrasikan dalam bentuk gambar yang bercerita tentang
materi yang diberikan atau lebih dikenal dengan visualisasi yang berguna untuk
memudahkan anak tunarungu mengerti akan maksud dan isi pembelajaran.
o
Keperagaan
Setiap kata yang keluar dari mulut
guru hendaknya diulas lebih lanjut hingga anak tunarungu betul-betul paham
maksud dari kata tersebut, kemudian memperagaan atau mempraktekkannya akan
lebih memudahkan anak tunarungu untuk mengerti apa yang diajarkan serta
upayakan semua pembelajaran yang dilakukan dapat diperagakan secara pengalaman
oleh anak sehingga anak mudah memahami dan mengerti apa yang diajarkan guru.
o
Pengalaman yang menyatu
Pengalaman visual cenderung
menyatukan informasi yang diterima, Mengajak anak tunarungu untuk “mengalami”
secara nyata dapat memudahkan anak untuk mengerti akan hubungan-hubungan yang
ada.
o
Belajar sambil melakukan
Pembelajaran hendaknya dapat
bermakna bagi semua siswa tidak terkecuali bagi anak tunarungu, untuk itu
segala sesuatu yang dipelajari harus dapat dipraktekkan dan dilakukan oleh anak
tunarungu. Penggunaan strategi pembelajaran yang langsung melibatkan anak lebih
bermanfaat dibandingkan anak hanya mendengarkan saja.
Ø Cara Mengajar
Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar
bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi
manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.
1)
Belajar Bahasa Melalui Membaca
Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca”
ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran
yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian
dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut
sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak
sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya.
Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa
prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh
pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan
yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu
yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik
daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang
non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang
tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins,
1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok
konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan
kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat
berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak
(Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di
Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai
respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan
tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari
pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan
bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan
menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke
sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah
dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan
segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa.
Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan
menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989
dalam Caldwell, 1997).
2)
Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman
& Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat
ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat
bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural
dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant
adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu
komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna,
dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan
ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen
eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear
implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung
memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan
tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang
dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan
berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur
sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa
penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari
bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar
dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi
ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu
tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar
yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak
berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.
3)
Belajar Bahasa secara Manual
Secara alami, individu tunarungu
cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk
tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang
dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa
komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap
tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan
baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya
cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.
Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa
bagi Anak Tunarungu
Pengajaran bahasa secara terprogram
bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat
keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa
kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan
auditori-oral.
Pendekatan Auditori verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan
agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang
memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam
masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang
mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan
komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan
auditori verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi
memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara.
Opsi auditori verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip
yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk
mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai
bayi tunarungu (Goldberg, 1997).
Prinsip-prinsip praktek auditori
verbal itu adalah sebagai berikut:
§ Berusaha sedini mungkin
mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
§ Memberikan perlakuan medis terbaik
dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
§ Membantu anak memahami makna setiap
bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap
bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
§ Membantu anak belajar merespon dan
menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran
normal.
§ Menggunakan orang tua anak sebagai
model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
§ Berusaha membantu anak mengembangkan
sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya
sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang
didengarnya.
§ Memahami bagaimana anak yang
berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan
pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu
mempelajari keterampilan baru.
§ Mengamati dan mengevaluasi
perkembangan anak dalam semua bidang.
§ Mengubah program latihan bagi anak
bila muncul kebutuhan baru.
§ Membantu anak tunarungu
berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan
anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di
kelas reguler.
Hasil
penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat
dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan
bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan
lingkungan hidup “reguler”. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa
di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang
tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan
masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik
daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam
Goldberg, 1997).
Pendekatan Auditori Oral
Pendekatan auditori oral didasarkan
atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik
secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak
tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan
di mana bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut
mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997).
Elemen-elemen pendekatan auditori
oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
§ Keterlibatan orang tua. Untuk
memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam
pendidikan bagi anaknya.
§ Upaya intervensi dini yang berfokus
pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
§ Upaya-upaya di dalam kelas untuk
mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
§ Amplifikasi yang tepat. Alat bantu
dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear
implant merupakan opsi yang memungkinkan.
Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih
dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang
mendasar bagi pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk
sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan
mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi,
identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan
mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi
ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam
kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang
saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap
suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan
keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa
dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada
diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi
anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran
dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi
tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada
keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.
Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa
anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang
pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan,
dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa
88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki
kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi.
Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun,
yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak
tunarungu di Amerika Serikat.
Ø Fasilitas
Secara umum, anak tunarungu memerlukan fasilitas
pendidikan yang relatif sama dengan anak normal, seperti papan tulis, buku
tulis pelajaran, penggaris, pensil, sarana bermain dan olahraga. Namun, karena
anak tunarungu mempunyai hambatan dalam mendengar dan bicara, maka mereka
memerlukan alat bantu khusus, antara lain audiometer, hearing aids,
audiovisual, tape recorder, spatel, cermin, dan gambar-gambar.
o
Ruang Bina komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI)
1. Ruang
Bina Wicara berfungsi sebagai tempat latihan wicara perseorangan.
2. Sekolah
yang melayani peserta didik SDLB dan/ atau SMPLB tunarungu memiliki minimum
satu buah ruang Bina Wicara dengan luas minimum 4 m2.
3. Ruang
Bina Wicara dilengkapi dengan saran pendukung di dalamnya.
o
Ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama
1. Ruang
Bina Persepsi Bunyi dan Irama berfungsi sebagai tempat mengembangkan kemampuan
memanfaatkan sisa pendengaran dan/atau perasaan vibrasi untuk menghayati bunyi
dan rangsang getar di sekitarnya, serta mengembangkan kemampuan berbahasa
khususnya bahasa irama.
2. Sekolah
yang melayani peserta didik SDLB dan/atau SMPLB tunarungu memiliki minimum satu
buah ruang Bina Persepsi bunyi dan Irama yang dapat menampung satu rombongan
belajar dengan luas minimum 30 m2.
3. Ruang
Bina Persepsi Bunyi dan Irama dilengkapi dengan sarana-prasarana pendukung.
o Ruang
keterampilan
1. Ruang
keterampilan berfungsi sebagai tempat kegiatan pembelajaran keterampilan sesuai
dengan program keterampilan yang dipilih oleh tiap sekolah.
2. Pada
setiap sekolah yang menyelenggarakan jenjang pendidikan SMPLB dan/atau SMALB
minimum terdapat dua ruang keterampilan. Ruang tersebut digunakan untuk
kegiatan pembelajaran pada jenis keterampilan: keterampilan rekayasa,
keterampilan jasa atau keterampilan perkantoran.
3. Ruang
keterampilan memiliki luas minimum 24 m2 dan lebar minimum 4 m.
4. Ruang
keterampilan dilengkapi dengan sarana sesuai jenis keterampilan.
3. MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI KELAS
BAGI TUNAGRAHITA
Tuna
Grahita/Cacat Ganda adalah kelainan dalam pertumbuhan dan perkembangan pada
mental intelektual (mental retardasi) sejak bayi / dalam kandungan atau masa
bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh faktor organik biologis maupun faktor
fungsional, adakalanya disertai dengan cacat fisik dengan ciri-ciri dan
klasifikasi sebagai berikut.
Ciri
ciri Tuna Grahita antara lain :
1. Kecerdasan
sangat terbatas.
2. Ketidakmampuan
sosial yaitu tidak mampu mengurus diri sendiri, sehingga selalu memerlukan
bantuan orang lain.
3. Keterbatasan
minat.
4. Daya
ingat lemah.
5. Emosi
sangat labil.
6. Apatis,
acuh tak acuh terhadap sekitarnya.
7. Kelainan
badaniah khusus jenis mongoloid badan bungkuk, tampak tidak sehat, muka datar,
telinga kecil, badan terlalu kecil, kepala terlalu besar, mulut melongo, mata
sipit.
Tunagrahita
sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut:
a. Lemah
pikiran (Feeble Minded)
b. Terbelakang
mental (Mentally Retarded)
c. Bodoh
atau dungu (Idiot)
d. Pandir
(Imbecile)
e. Tolol
(Moron)
f. Oligofrenia
(Oligophrenia)
g. Mampu
Didik (Educable)
h. Mampu
Latih (Trainable)
i.
Ketergantungan
penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat
j.
Mental Subnormal
k. Defisit
Mental
l.
Defisit Kognitif
m. Cacat
Mental
n. Defisiensi
Mental
o. Gangguan
Intelektual
Penyandang Tunagrahita dengan
kondisi yang bervariasi perlu mereka dipandang potensi atau kemampuan secara
individual. Pandangan itu berimplikasi untuk program bimbingan dalam rangka
optimalisasi mereka juga menggunakan program individual. Program individual
tersebut dalam pelaksanaan belajar di kelas menuntut pembimbing mampu mengatur
atau memanaj agar supaya mereka belajar bersama-sama, namun kebutuhan
individual tetap terpenuhi. Untuk itu, pembimbing perlu melaksanakan manajemen
kelas di dalam proses bimbingan di kelas. Kemampuan proses membimbing di kelas
merupakan mendorong siswa tunagrahita untuk belajar sesuai dengan program
individual masing-masing, namun di antara berbagai program individual tersebut
pembimbing mampu memadukan bersama-sama belajar di dalam kelas. Kemampuan itu
meliputi perencanaan pembelajaran di kelas, penetapan materi, pemilihan metode,
dan pengembangan cara evaluasi yang akan dilakukan di dalam kelas.
Komponen perencanaan pembelajaran
yang mengikuti pendekatan sistem ialah komponen itu saling berinteraksi dan
terkait, sehingga komponen satu dan lainnya saling mempengaruhi. Setiap
komponen dapat dikembangkan menjadi subkomponen, sehingga perencanaan
pembelajaran sering bervariasi.
1) Tujuan
Pada dasarnya tujuan yang perlu dikembangkan
oleh pengajar adalah tujuan khusus. (TIK). Dalam langkah ini analisis kebutuhan
siswa sangat menentukan untuk mampu dan tidaknya siswa mencapai tujuan yang
dirancang. Hal ini sangat tergantung dari kemampuan awal serta kondisi hambatan
mental. Rambu-rambu yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan tujuan khusus:
a. Dirumuskan
dalam batas-batas kemampun siswa untuk mencapainya, yaitu mencakup potensi dan
keterbatasan siswa tunagrahita.
b. Tujuan
yang diprioritaskan untuk dicapai ialah kemampuan yang praktis dan fungsional.
c. Tujuan
harus sesuai dengan usia kronologis siswa.
d. Tujuan
harus dirumuskan dengan kata-kata operasional yang menggambarkan perilaku yang
diinginkan secara spesifik, dengan berbagai kondisinya.
e. Komponen
ABCD (Audience, Behavior, Condition, dan Degree) dapat dipedomani dalam
menyusun tujuan khusus.
2) Materi
Pokok-pokok
materi yang akan diajarkan dapat diambil dari Garis-garis Besar Program
Pengajaran (GBPP) atau silabus kurikulum sekolah yang bersangkutan. Namun
pokok-pokok materi yang ada tersebut perlu dikembangkan dan diorganisasikan.
Untuk melakukan hal ini, rambu-rambu berikut perlu dipedomani.
a. Materi
yang disajikan harus mendukung tercapainya tujuan khusus yang telah ditetapkan.
b. Materi
yang disajikan harus berada dalam batas-batas kemampuan siswa untuk mempelajarinya.
Hal ini berkaitan langsung dengan potensi yang ada pada siswa berkebutuhan
khusus, sesuai dengan kelainan yang disandangnya.
c. Materi
yang disajikan haruslah bermanfaat bagi kehidupan siswa.
d. Materi
harus disusun dari yang mudah ke yang sukar, yang sederhana ke yang kompleks,
dan dari yang konkret ke yang abstrak.
Rambu-rambu di atas
menekankan bahwa materi yang dikembangkan harus berpedoman pada layanan
pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Lynch dan Lewis via Wardani
(1994: 7) menyusun urutan bidang pelayanan pendidikan sebagai berikut:
Pengembangan
dalam kemampuan membaca, menulis, dan matematika.
Persiapan untuk
menjadi warga negara/anggota masyarakat.
Pendidikan
jasmani.
Pendidikan seni
dan music
Pendidikan
vokasional (keterampilan).
Jenis
dan urutan pelayanan pendidikan tersebut akan dapat menjadi acuan dalam
menentukan luas dan dalamnya materi yang akan disajikan. Setelah memilih dan
mengembangkan materi, para calon guru perlu mengidentifikasi dan mengembangkan
alat bantu belajar yang dapat dimanfaatkan. Alat bantu itu digunakan memudahkan
siswa hambatan mental menguasai kemampuan yang ditargetkan. Alat bantu tersebut
perlu juga bervariasi sesuai dengan tingkatan kategori siswa hambatan mental,
hakikat materi, serta tujuan yang ingin dicapai. Rambu-rambu kerelevanan, baik
dengan karakteristik siswa, usia kronologis, tujuan, maupun materi yang
disajikan, di samping menarik dan mudah dikelola, hendaknya dijadikan pedoman
pemilihan dan pengembangan alat bantu mengajar.
3) Penataan
kelas
a. Pengkonsian
saat sebelum mengajar
Saat sebelum mengajar, guru perlu mengatur
kondisi fisik, sosial, dan pengaturan berbagai komponen yang digunakan untuk
proses pembelajaran. Pengaturan kondisi fisik terkait dengan tempat, tata
ruang, tempat penyimpanan alat-alat pembelajaran, sirkulasi udara, serta
pengaturan tempat duduk atau tempat kerja siswa yang memungkinkan bagi siswa
menyimpang perilakunya dapat dicegah. Misalnya mengelompokkan pada siswa yang
dapat bekerja sama, kemudian siswa yang hiperaktif diberikan tempat duduk
tersendiri.
Selanjutnya, dimensi sosial/personal yang
perlu diatur adalah menentukan hubungan personal di antara siswa dan orang tua,
guru, perkembangan personal siswa, dorongan pimpinan sekolah, dan hubungan
siswa dengan teman kelompok sebaya yang dapat bermakna mempengaruhi dinamika
proses pembelajaran.
Pengaturan berbagai
komponen yang terkait dengan proses pembelajaran adalah cara guru mempersiapkan
prosedure mengajar, pengelompokan kegiatan dan bahan, penahapan kegiatan, cara
perekaman peristiwa mengajar dan perilaku siswa, mengelola tingkah laku siswa,
dan mengelola waktu.
Persiapan dimensi
materi instruksional juga merupakan dimensi yang perlu saat sebelum proses
pembelajaran. Persiapan tersebut yang pokok pada proses ini yaitu tanggung
jawab untuk kesepadanan antara kebutuhan siswa dengan kurikulum, materi
instruksional, metode mengajar, dan penugasan-penugasan yang diberikan kepada
siswa. Guru agar memperhatikan dan mengetahui kekuatan dan kelemahan siswa
serta kesesuaian kondisi itu dengan perencanaan program yang disepakati.
b. Pengkonsian
saat proses mengajar
Pengkondisian suasana
fisik, sosial, dan persiapan materi yang telah dilakukan sebelum proses
mengajar selesai dan siap, selanjutnya dilakukan proses pembelajaran. Proses
ini membutuhkan berbagai tindakan guru mengaktifkan siswa untuk berproses
tahapan-tahapan belajar sampai siswa memiliki kemampuan yang diharapkan.
Tindakan guru mengaktifkan siswa secara garis besar dikemukakan Tikunof, 1982
(Polloway & Patton, 1993: 20): “include clear communication of
instructional demands, active engagement of students, continual monitoring of
progress, and regular provisions for immediate feedback.” Maksud tindakan guru
tersebut meliputi: pengkomunikasian secara jelas tugas-tugas belajar yang
diperlukan, mengajak siswa untuk aktif, terus menerus memantau kemajuan, dan
selalu umpan balik dengan segera. Berbagai tindakan itu perlu dilakukan guru
saat proses mengajar dalam rangka ajakan ke siswa agar aktif melalui tahapan
tugas belajar.
Saat proses mengajar
perlunya guru menciptakan kondisi agar siswa melakukan tugas-tugas belajar.
Tugas-tugas itu sebagai proses siswa memperoleh berbagai kemampuan atau
kecakapan, dengan tahapan sebagai berikut: tahap perolehan, tahap ulangan,
tahap kecakapan, tahap mempertahankan,tahap perluasan, dan tahap penyesuaian.
c. Tindak
lanjut sesudah mengajar
Pembelajaran bagi
tunagrahita diperlukan suatu tindak lanjut sesudah proses belajar tahap
tertentu pada mereka dicapai. Tindak lanjut ini supaya hasil yang telah dicapai
ada kesinambungan dan ada upaya untuk memelihara (maintemance) ketercapaian
hasil belajar. Tindak lanjut yang perlu dilakukan meliputi pengelolaan 10 data
hasil belajar, komunikasi dengan orang tua, serta komunikasi dengan
profesiprofesi lainnya yang terlibat di dalam kolaborasi penanganan para
tunagrahita.
Pengelolaan data dan
pembuat keputusan dalam praktek pengajaran yang efektif berkaitan dengan
pengumpulan data dasar kurikululer yang diajarkan sebelumnya. Tindakan ini
untuk merekam tahapan-tahapan kemajuan siswa atas kurikulum yang telah
dirancang bagi mereka. Tanpa penggunaan rekaman kemajuan siswa, guru akan
mendapatkan kesulitan untuk menentukan atau memutuskan suatu kelanjutan pada
siswa tertentu. Selanjutnya, guru akan gagal untuk mengevaluasi secara efektif
pengajarannya dengan resiko pembelajaran siswanya mengalami stagnasi (tidak ada
kemajuan), atau malpraktek. Cara perekaman menggunakan entry data dengan secara
manual atau komputeriasi untuk disajikan secara grafik.
Pengelolaan atau
manajemen data juga untuk keperluan grading, interaksi dengan orang tua dan
profesional lainnya yang terlibat secara kolaborasi. Keperluan grading untuk
tujuan pengelompokkan siswa atas dasar performance atau karakteristik tertentu.
Hal itu berguna untuk program-program yang diperlukan pada setiap
tingkat/grade. Selanjutnya, hasil dari pembelajaran yang telah dikelola untuk
dikomunikasikan dengan orang tua dan profesi lainnya. Komunikasi dengan orang
tua agar kemampuan yang telah dicapai siswa di sekolah untuk ditindaklanjuti
oleh orang tua di rumah, sedangkan hal-hal yang belum dapat dicapi perlu
bantuan orang tua berperan memberikan intervensi agar ada intensitasnya.
Komunikasi dengan profesi lainnya dalam rangka
merujuk beberapa hambatan khusus yang guru tidak mampu melakukan intervensi.
Para profesi itu di antaranya: para psikolog, para dokter spesialis yang
terkait dengan hambatan anak, konselor, dan pekerja sosial yang mampu
menghubungkan sumber-sumber belajar di masyarakat. Kolaborasi para profesi
tersebut menentukan efektifitas pengajaran, karena hal-hal yang masih terhambat
pada siswa dapat segera diatasi.
4.
MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI KELAS BAGI TUNADAKSA
Istilah tuna daksa berasal dari kata Tuna
berarti cacat dan Daksa berarti tubuh. Tuna daksa yaitu
kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh. Kelainan ini biasanya disebabkan oleh kerusakan
otak (medula oblongata) dan saraf tulang belakang (medula spinalis). Penyebab kerusakan ini dapat berupa: (a)
sebab-sebab sebelum lahir antara lain : terjadi infeksi penyakit, kelainan
kandungan, kandungan radiasi, saat mengandung mengalami trauma (Kecelakaan).
(b)
sebab-sebab pada saat kelahiran, antara lain : Proses kelahiran terlalu lama,
Proses kelahiran yang mengalami kesulitan Pemakaian Anestasi yang melebihi
ketentuan. Dan (c) sebab-sebab setelah proses kelahiran, antara lain :
Kecelakaan, lnfeksi penyakit, dan Ataxia.
Tingkat gangguan pada tunadaksa
adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik
tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki
keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu
memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol
gerakan fisik.
Karakteristik anak tuna daksa
biasanya memiliki gangguan psikologis yang cenderung merasa malu, rendah diri
dan sensitif serta memisahkan diri dari lingkungannya. Di samping karakteristik
tersebut terdapat problema Anak tuna daksa antara lain, gangguan taktil.
Dalam
penyelenggaraan pelayanan pendidikan bagi anak Tuna daksa, Guru mempunyai
peranan ganda disamping sebagai pengajar, pendidik juga sebagai pelatih.
Pelayanan terapi yang diperlukan anak tunadaksa antara lain : latihan bicara, fisioterapi,
Occupational Therapy dan Hydro Therapy. Anak Tuna daksa pada dasarnya sama
dengan anak normal lainnya, hanya dari aspek psikologi sosial mereka
membutuhkan rasa aman dalam bermobilisasi dalam kehidupannya. Model
layanan pendidikan bagi anak tunadaksa dibagi pada sekolah khusus dan sekolah
terpadu atau inklusi: Sekolah khusus diperuntuk bagi anak yang mempunyai
problema yang lebih berat bagi intelektualnya maupun emosinya. Sekolah
terpadu/inkulsi diperuntukkan bagi anak tuadaksa yang mempunyai problema ringan
dan problema penyerta dan tidak disertai oleh problema retardasi mental.
Prinsip khusus pendidikan bagi anak tuna daksa terdiri dari
prinsip multisensori dan prinsip individualisasi. Multisensori berarti banyak
indera, maksudnya dalam proses pendidikan pada anak tunadaksa sedapat mungkin
memanfaatkan dan mengembangkan indera-indera yang ada dalam diri anak agar
kesan pendidikan yang diterimanya lebih baik. Prinsip individualisasi berarti
kemampuan masing-masing diri individu lebih dijadikan titik tolak dalam
memberikan pendidikan pada mereka. Model layanannya dapat berbentuk individual
dan klasikal pada individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama,
bahan pelajaran yang diberikan pada siswa sesuai dengan kemampuan masing-masing
anak. Layanan pendidikan untuk anak Tunadaksa dapat dilakukan dengan pendekatan
guru kelas, guru mata pelajaran/bidang studi, campuran dan pengajaran tim.
Pembelajaran di sekolah idealnya sebagai berikut:
a. Perencanaan kegiatan belajar mengajar: Program pendidikan
yang diindividualisasikan
b. Prinsip Pembelajaran: Prinsip multisensori dan prinsip
individualisasi
c. Penataan Lingkungan Belajar: Bangunan gedung memprioritaskan
tiga kemudahan: mudah keluar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah
mengadakan penyesuaian.
d. Personil: guru PLB, guru regular, dokter ahli anak, dokter
ahli rehab medis, dokter ahli ortopedi, dokter ahli syaraf, psikolog, guru BP,
social worker, fisioterapist, occupational therapist, speechterapist, orthotic
dan prosthetic.
e. Bimbingan Belajar: Anak Tunadaksa memerlukan bimbingan
belajar membaca, menulis, dan berhitung. Ketiga kemampuan dasar ini perlu
memperoleh layanan sedini mungkin sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak,
manakala telah memasuki program sekolah dasar.
f. Pembinaan Karier dan Pekerjaan: Untuk mempersiapkan masa
depan anak, di sekolah perlu adanya pembinaan karier. Pengertian karier tidak
dipandang hanya sebagai pekerjaan yang diberikan pada tamatan sekolah menengah
atas, tetapi dibutuhkan oleh semua siswa sejak Taman Kanak-Kanak sampai
Perguruan Tinggi. Pada jenjang TKLB dan SDLB materi pembahasannya adalah untuk
memberikan pengertian dasar mengenai kemungkinan pekerjaan dalam hidup kelak
dan memberikan kesadaran bahwa sekolah memberi kesempatan untuk bereksplorasi dalam
mempersiapkan kehidupan kelak. Sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi
selain melanjutkan materi tersebut telah diarahkan pada prevokasional maupun
vokasional. Pembinaan karier dan pekerjaan dimulai dari kegiatan assesment
karir dan pekerjaan agar dapat menyusun program pembinaan karir dan vokasional
yang sesuai dengan kondisi kemampuan dan kecacatan anak tunadaksa. Berkaitan
dengan penyusunan program, Philip (1986) mengemukakan bahwa program yang
disusun harus berbentuk IEP (Individualized Educational Program) yang mempunyai
ciri-ciri sasaran untuk remidi bila siswa mengalami kesulitan dalam membaca
formulir pekerjaan, berkomunikasi dengan menggunakan telepon, penggunaan uang
dalam pekerjaan, dan lain-lain. Salah satu contoh pogram IEP adalah pengembangan
motorik halus untuk pekerjaan menjahit, pertanaman, mengatur makanan, dan
lain-lain. Alur pembinaan karier dan pekerjaan dapat disajikan seperti berikut:
Assesment → pemograman → proses → evaluasi → daya guna/tepat
guna.
5.
MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI KELAS BAGI TUNALARAS
Penyelenggaraan pendidikan anak tuna
laras/sosial sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan
bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler. Jika diantara murid di sekolah tersebut ada anak yang
menunjukan gejala kenakalan ringan segera para pembimbing memperbaiki mereka.
Mereka masih tinggal bersama-sama kawannya di kelas, hanya mereka mendapat
perhatian dan layanan khusus.
2. Kelas
khusus apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman pada satu kelas. Kemudian gejala-gejala kelainan
baik emosinya maupun kelainan tingkah lakunya dipelajari. Diagnosa itu
diperlukan sebagai dasar penyembuhan. Kelas khusus itu ada pada tiap sekolah
dan masih merupakan bagian dari sekolah yang bersangkutan. Kelas khusus itu
dipegang oleh seorang pendidik yang berlatar belakang PLB dan atau Bimbingan
dan Penyuluhan atau oleh seorang guru yang cakap membimbing anak.
3. Sekolah
Luar Biasa bagian Tunalaras tanpa asrama Bagi Anak Tunalaras yang perlu dipisah belajarnya
dengan kata kawan yang lain karena kenakalannya cukup berat atau merugikan
kawan sebayanya.
4. Sekolah
dengan asrama.
Bagi mereka yang kenakalannya berat, sehingga harus terpisah dengan kawan
maupun dengan orangtuanya, maka mereka dikirim ke asrama. Hal ini juga
dimaksudkan agar anak secara kontinyu dapat terus dibimbing dan dibina. Adanya
asrama adalah untuk keperluan penyuluhan.
Solusi dari permasalahan
1. Melakukan modofiksi pembelajaran
Modifikasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan
oleh para guru agar proses pembelajaran dapat mencerminkan DAP (Developentally
Appropriate Practice). Artinya bahwa tugas ajar yang disampaikan harus
memerhatikan perubahan kemampuan atau kondisi anak, dan dapat membantu mendorong
kea rah perubahan tersebut.
Dalam pembelajaran penjas adaptif untuk penyandang tuna
laras, ada beberapa hal yang bisa dimodifikasi, antara lain: sarana dan
prasarana, peraturan, dan media pembelajaran. Khusus untuk pembelajaran penjas
adaptif, tidak hanya dituntut PAIKEM (Pembelajran yang Aktif, Inovatif,
Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) saja. Namun, dibutuhkan juga sikap,
bimbingan dan pengawasan khusus terhadap para ABK itu agar dapat tercapai
maksud dan tujuan pendidikan jasmani adaptif ini.
2. Memberikan pembelajaran dengan
metode inklusi
Banyak yang beranggapan bahwa
pendidikan inklusi diperuntukkan khusus bagi murid-murid yang memiliki
keterlambatan bahkan secara lugas masih beranggapan bahwa pendidikan inklusi
hanya untuk anak yang memiliki keterbelakangan dalam segala hal. Orang tua
murid pun merasa khawatir tatkala anaknya harus belajar di kelas yang di
dalamnya ada anak yang mengikuti program inklusi.
Kalau kita simak dengan seksama
tentang pendidikan inklusi justru sangat unggul, betapa tidak karena ada di
dalamnya sebuah layanan prima seperti yang terdapat dalam landasan dan komponen
pendidikan antara lain sebagai berikut ( Drs Mulyono, M Pd, Pengembangan
Pendidikan Inklusi di Jawa Tengah):
3.
Macam-Macam bimbingan yang harus di terapkan
tenaga pengajar
a.
Membina rasa Ketuhanan
dan budi pekerti
Membina rasa Ketuhanan hakekatnya berbicara
masalah kualitas keimanan. Cara membina rasa Ketuhanan anak gangguan emosi dan
tingkah laku antara lain dimulai dengan menanamkan nilai dan norma iman, karena
keimanan mengandung nilai dan norma Ketuhanan.Hal ini dimaksudkan agar dapat
menjadi perisai dari agresi kejahatan, materi dan keputusasaan anak dalam
hidup. Sifat mudah marah, emosional, agresif, merusak dan mengganggu orang lain
disebabkan karena lemahnya kadar keimanan seseorang. Sehingga ia tidak ada rasa
takut atas resiko kerugian yang ditimbulkan dari perbuatannya.
Caranya :
Tanamkan pengertian melalui contoh-contoh
kongrit sederhana bahwa perbuatan melanggar norma agama membuahkan dosa dan
akan mendapatkan siksa.
Sebaliknya kepada anak juga perlu ditanamkan
pengertian bahwa perbuatan baik dan terpuji sesuai norma agama membuahkan
pahala dan akan mendapatkan imbalan dari Tuhannya.
Berikan contoh-contoh kegiatan yang dapat
menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam kehidupan
keagamaan yang praktis dan fungsional.
Bimbingan budi pekerti
pada anak gangguan emosi dan sosial dimaksudkan agar anak menjadi manusia yang
berbudi luhur, sopan santun, andap asor, jujur, disiplin, dan memiliki rasa setia
kawan. Bentuk bimbingan budi pekerti antara lain :
Menanamkan sikap sopan santun
Menganjurkan berpakaian rapi dan bersih
Petunjuk menghindari perkelaian
Menanamkan sikap patuh pada tata tertib keluarga
dan sekolah
Memperbanyak mengkaitkan materi pelajaran dengan
nilai keagamaan
Bimbingan waktu luang
b.
Membina konsep diri
dan pengenalan diri
Anak tunalaras hidup dalam lingkungan sosial, ia
berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya. Konsep dan pemahaman diri sangat
diwarnai oleh hasil dari komunikasi sosial, sehingga pada diri anak dapat
timbul penilaian atas dirinya, baik penilaian diri sebagai subyek maupun
dirinya sebagai obyek. Untuk dapat mendudukkan diri sebagai subyek dan sebagai
obyek biasanya bertolak dari persepsi diri terhadap kondisi fisik diri, kondisi
psikis diri, dan kondisi sosial diri.
Konsep diri positif biasanya dilandasi oleh :
Pada diri anak telah mengalami nilai dan prinsip
tertentu
Dapat menyesali tindakan sendiri yang ternyata
salah (dapat merugikan diri dan orang lain) dan bersedia memperbaikinya
Tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu dengan
kecemasan
Memiliki keyakinan pad kemampuan diri untuk
mengatasi persoalan (kegagalan, kelainan) sambil bertawakkal pada kepastian
illahi
Merasa setara dengan orang lain dan hanya nilai
taqwa yang bisa membedakannya
Sedang persepsi negatif
biasanya dilandasi oleh adanya ketidaktahanan dalam menerima kritik atas
dirinya, ejekan, sangat responsif terhadap pujian, merasa tidak diperhatikan
oleh orang lain.
Stuart & Sundeen
(1991) mendeskripsikan konsep diri yang terdiri atas gambaran diri, ideal diri,
harga diri, peran, dan identitas diri. Seseorang yang memiliki kepribadian yang
sehat biasanya dilandasi oleh gambaran diri yang positif dan akurat, ideal diri
realistik, konsep diri positif, harga diri yang tinggi, adanya kepuasan
penampilan peran serta adanya identitas diri yang jelas.
c.
Membina emosi/perasaan
dan sikap social
Perasaan sosial akan mempengaruhi sikap sosial
seseorang. Perasaan sosial yang altrimistis, egoistis, maupun individualis
sama-sama tidak baik pengaruhnya terhadap pembentukan sikap sosial. Adanya
sikap sosial yang antipati dan antipati juga tidak menguntungkan bagi
perkembangan kepribadian seseorang. Anak-anak tunalaras perlu dibina perasaan
sosial dan sikap sosial yang positif.
Paling tidak ada 2 aspek yang perlu ditanamkan
kepada mereka yaitu :
1)
Kemampuan mengadakan relasi sosial, seperti :
·
Kemampuan bergaul
·
Bekerjasama dengan orang lain
·
Dimilikinya peran sosial yang sesuai dan jelas
·
Kemampuan mengadakan penyesuaian social
2)
Kemampuan mengadakan integrasi social
Hasil akhir dari pembinaan perasaan sosial dan
sikap sosial adalah anak dapat bergaul dan bekerjasama dengan orang lain dalam
kelompok, yahu akan perannya dan dapat menyesuaikan diri dengan peran tersebut,
dapat memahami tugas dan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, dapat
memahami batas-batas dari perilakunya, dapat menyesuaikan dengan lingkungan
sosial, etika pergaulan, agama dan tidak memisahkan diri, tidak rendah diri dan
tidak berlebihan serta mampu bergaul secara wajar dengan lingkungannya.
d.
Membina kehendak
Kehendak adalah dorongan/kekuatan dari dalam
untuk berbuat guna mancapai sesuatu yang dikehendaki daan menghindrai sesuatu
yang tidak dikehendaki. Kemauan adalah kehendak yang berhubungan dengan
kerokhanian.
Membina kebiasaan
Kebiasaan yang sudah berlangsung lama dapat
mewarnai kepribadian seseorang. Namun, anak tunalaras perlu dilatih segala
aktivitas yang positif dan konstruktif agar apabila anak sanggup mengerjakannya
berulang-ulang dapat membentuk kepribadian yang baik. Misalnya kebiasaan hidup
tertib, aktif beraktivitas, hidup bersih, hidup sehat, rajin belajar.
Membina nafsu
Nafsu merupakan dorongan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Nafsu ada beberapa macam yaitu nafsu amarah (penggerak), nafsu
musawwilah (penipu diri), nafsu lawwamah (penimbang), nafsu muthmainnah
(ketenangan/kesadaran). Dengan memahami nilai dan norma agama, maka nafsu yang
cenderung mendorong orang berbuat negatif dan jahat dapat dicegah dan
melahirkan nafsu muthmainnah.
Membina kecenderungan/kegemaran/hobby
Kecenderungan/kegemaran/hobby adalah suatu
dorongan yang datangnya relatif selalu timbul. Cara membina
kecenderungan/kegemaran.hobby antara lain dengan cara mengarahkan pada
aktivitas yang positif dan tidak bertentangan dengan nilai dan norma di
masyarakat.
Membina kemauan
Kemauan merupakan tenaga jiwa yang memberi
ketetapan untuk menepati atau melaksanakan keputusan bathin. Membina kemauan
anak tunalaras adalah melalui menyalurkan kemauan itu ke kegiatan yang positif,
berikan hadiah dan hukuman yang sesuai, biasakan berbuat baik guna membentuk
kata hatinya. Kemauan pada hakekatnya dapat dididik, oleh karena itu ada seloka
sebagai berikut :
·
Keputusan bathin akan dapat disepakati, kalau
kemauan kuat
·
Kemauan dapat kuat, kalau motif kuat
·
Motif dapat kuat kalau berdasar keyakinan.
4.
Fasilitas pendidikan
untuk anak tunalaras
Fasilitas pendidikan untuk anak tunalaras
relatif sama dengan fasilitas pendidikan untuk anak normal pada umumnya.
Fasilitas ruangan kelas tidak menggunakan benda-benda kecil yang terbuat dari
bahan yang keras, sehingga mempermudah mereka untuk mengambil dan melemparnya.
Fasilitas lain lebih berkaitan dengan ruangan terapi dan sarana terapi. Terapi
tesebut meliputi :
Ruangan fisioterapi dan peralatannya,
yaitu peralatan yang lebih diarahkan pada upaya peregangan otot dan
sendi, danpembentukan otot, misalnya: barbel, box tinju, dan sebagainya.
Ruangan terapi bermain dan
peralatannya, yaitu peralatan yang lebih diarahkan pada model terapi
sublimasi dan latihan pengendalian diri. Misalnya puzzle dan boneka .
Ruangan terapi okupsi dan peralatannya,
yaitu peralatan yang lebih diarahkan pada pembentukan
keterampilan kerja dan pengisian pengisian waktu luang sesuai dengan kondisi
anak.
sumbernya dari mana kak
BalasHapusSujiono, Dr. Yuliani Nurani. 2013. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: PT Index.
Hapus